BAB I
Tinjauan Pustaka
1.
Alat
bantu dan ukur Manajemen Rumah Sakit
Pengukuran
merupakan konsep sentral dalam peningkatan mutu. Dengan pengukuran akan
tergambarkan apa yang sebenarnya sedang dilakukan sarana pelayanan kesehatan
dan membandingkannya dengan target sesungguhnya atau harapan tertentu dengan
tujuan untuk mengidentifikasi kesempatan untuk adanya peningkatan mutu (Shaw,
2003).
Mengukur
mutu pelayanan kesehatan baik di tingkat primer seperti Puskesmas dan tingkat
lanjut seperti rumah sakit memerlukan indikator mutu yang jelas. Namun menyusun
indikator yang tepat tidaklah mudah. Kita perlu mempelajari pengalaman berbagai
institusi yang telah berhasil menyusun indikator mutu pelayanan kesehatan yang
kemudian dapat digunakan secara efektif mengukur mutu dan meningkatkan mutu.
Salah
satu pengalaman tersebut dapat dipelajari dari program Performance Assessment
Tool for Quality Improvement in Hospital (PATH) dengan langkah-langkah sebagai
berikut (WHO, 2006) :
1. Menyusun
model konseptual: identifikasi dimensi dan sub-dimensi dan bagaimana hubungan
antaranya satu sama lain
2. Melakukan
penapisan awal indikator kinerja yang ada dan critical review
3. Menetapkan
indikator komplementer untuk mengisi area-area yang belum ditunjang oleh
indikator awal berdasarkan literatur ilmiah
4. Melakukan
pemilihan awal indikator berdasarkan expert opinion dan bukti-bukti awal
5. Melakukan
penelitian yang ekstensif untuk mendapatkan literatur mengenai angka
prevalensi, bukti pendukung, reliabitas dan validitas, survey pada negara yang
berpartisipasi
6. Melakukan
pemilihan akhir berdasarkan pakar, berdasarkan informasi yang didapatkan pada
langkah 5, menggunakan nominal group tehnic (NGT)
Dalam
pemilihan tersebut, WHO menggunakan kriteria-kriteria berikut ini (WHO, 2006) :
1. Kriteria
untuk indikator
a. Tingkat
kepentingan dan relevansi: indikator harus menggambarkan aspek-aspek yang
bermanfaat bagi penggunanya dan relevan dengan konteks kesehatan saat ini.
Kepentingan tersebut dapat diperjelas dengan adanya kebijakan nasional ataupun
internasional (seperti WHO Health for All Framework). Indikator klinis harus
berfokus pada kejadian yang memiliki angka prevalensi tinggi (high prevalence
rate) dan memiliki beban berat (high burden).
b. Berpotensi
untuk dapat digunakan (dan disalahgunakan) dan hasilnya dapat ditindaklanjuti:
rumah sakit harus dapat menindaklanjuti permasalahan yang muncul dari indikator
yang ada. Dengan demikian, rumah sakit harus memiliki tanggung jawab, kontrol
substansial, dan kemampuan untuk mengimplementasikan strategi untuk peningkatan
kinerja.
2. Kriteria
untuk alat ukur
a. Reliabilitas:
Indikator diharapkan memiliki spesifikasi yang detail dan jelas untuk numerator
dan denominatornya. Pengumpulan data yang seragam mudah dipahami dan mudah untuk
diimplementasikan. Reliabilitas meningkat ketika pengukuran yang dilakukan
hanya sesedikit mungkin bergantung pada penilaian subyektif. Ini juga termasuk
konsep konsistensi internal, stabilitas test/test ulang, dan kesepahaman antar
pengukuran.
b. Face
Validity (juga dikenal sebagai akseptabilitas): terdapat kesepakatan di antara
pengguna dan pakar bahwa pengukuran ini berhubungan dengan dimensi (atau
subdimensi) yang akan dijangkau.
c. Content
Validity: model teoritis mendukung bahwa pengukuran ini berhubungan dengan
subdimensi kinerja yang akan dijangkau dan pengukuran ini menjangkau seluruh
domain dan tidak hanya sebagian aspek spesifik saja.
d. Contruct
Validity: bukti empiris menunjukkan bahwa pengukuran ini berhubungan dengan
pengukuran kinerja yang lainnya
e. Beban
untuk pengumpulan data: ini termasuk juga pertimbangan ketersediaan data,
biaya, ketepatan waktu sehingga didapatkan data yang berkualitas, dan derajat
kemudahan untuk pengumpulan data. Indikator (misalnya kejadian sentinel) tidak
harus dieksklusi hanya karena data yang dibutuhkan tidak akurat atau sering
hilang. Justru adanya pengukuran ini dapat dipergunakan sebagai kesempatan
untuk mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan akan pendidikan dan peningkatan
untuk menunjang sistem informasi yang efektif. Demikian pula untuk indikator
yang berdasarkan data yang dikumpulkan secara manual tidak harus dieksklusi
karena malah dapat menjadi sarana latihan dan belajar bagi staf dan
meningkatkan kualitas pengumpulan data.
3. Kriteria
untuk kumpulan indikator
a. Face
Validity: Apakah kumpulan indikator tersebut dapat diterima oleh para
penggunanya?
b. Content
Validity: Apakah semua dimensi dijangkau dengan tepat?
c. Construct
Validity: Bagaimana indikator-indikator tersebut saling terkait satu dengan
yang lainnya? Apakah indikator dari dimensi yang berbeda saling berhubungan
(discrimination criteria)? Apakah indikator dari dimensi yang sama saling
berhubungan (convergence criteria)?
Pengalaman lain yang
dapat dicontoh adalah dari proses pemilihan indikator kinerja menurut USAID
(1996), yang terdiri atas:
a. Klasifikasi
pernyataan hasil – Indikator kinerja yang baik diawali dengan pernyataan hasil
yang baik yang dapat dipahami dan disetujui oleh semua orang.
b. Susun
daftar kemungkinan indikator yang ada – Biasanya terdapat beberapa macam
indikator untuk suatu outcome yang diinginkan, tetapi beberapa lebih tepat dan
lebih bermanfaat daripada yang lainnya. Dalam pemilihan indiator, jangan
terlalu cepat menentukan pilihan pada indikator yang muncul pertama dalam
pikiran karena nyaman atau dirasa lebih jelas. Lebih baik disusun daftar
alternatif yang ada, kemudian dinilai dengan suatu kriteria.
c. Lakukan
penilaian pada setiap indikator yang memungkinkan. Dalam pemilihan ini dapat
digunakan tujuh kriteria berikut untuk menilai ketepatan dan manfaat dari
masing-masing indikator. Ketika menilai dan membandingkan masing-masing
indikator yang ada, sangat baik apabila digunakan matriks dengan tujuh kriteria
tersebut pada satu baris atas dan kandidat indikator yang ada didaftar ke
bawah. Dengan skoring sederhana, seperti dengan angka 1-5, nilai masing-masing
indikator terhadap masing-masing kriteria tersebut. Peringkat ini akan membantu
dalam proses pemilihan. Bagaimanapun, proses ini dapat diterapkan secara
fleksibel karena tidak semua tujuh kriteria tersebut sama-sama pentingnya.
d. Pilih
indikator kinerja yang terbaik – Langkah selanjutnya ialah dengan mempersempit
daftar indikator tersebut menjadi daftar indikator final yang akan digunakan
untuk menilai kinerja. Dalam hal ini juga harus diperhatikan untuk selektif
dalam menetapkan indikator, karena dalam setiap pengumpulan dan analisis data
selalu dibutuhkan biaya. Pembatasan jumlah indikator yang digunakan untuk suatu
tujuan tertentu harus dilakukan (dua atau tiga indikator saja untuk suatu
tujuan yang serupa). Pilih hanya indikator yang mewakili
e. dimensi
dasar dan penting dari tujuan yang ingin dicapai.
BAB
II
ISI
Mutu adalah faktor yang
mendasar dari pelanggan. Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan
insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata
pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya,
dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau
subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar
yang kompetitif (Wiyono, 1999).
Berikut ini
definisi-definisi mutu:
a. Juran
menyebutkan bahwa mutu produk adalah kecocokan
penggunaan produk untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan pelanggan
b. Crosby
mendefinisikan mutu adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang
disyaratkan atau distandarkan
c. Deming
mendefinisikan mutu bahwa mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar
d. Feigenbaum
mendefinisikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya
e. Garvin
dan Davis menyebutkan bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan
dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
Manajemen Mutu
merupakan suatu konsep manajemen dalam merespon berbagai perubahan internal
maupun eksternal, untuk fokus pada tujuan organisasi agar dapat memenuhi
kebutuhan pelanggannya dengan memberikan barang dan jasa yang terbaik. Dalam
konteks rumah sakit, manajemen mutu menjadi semakin penting dan kritikal
mengingat dampaknya terkait dengan nyawa pasien. Mengacu pada WHO.
Rumah Sakit merupakan suatu kesatuan
organisasi sosial dan medis, yang berfungsi sebagai :
1. penyedia
layanan kesehatan yang terjangkau bagi pasien
2. lembaga
pelatihan bagi para pekerja di bidang medis
3. lembaga
penelitian sosial dan biologis. Untuk mendukung keseluruhan fungsi tersebut,
mutu layanan kepada pasien sebagai efek dari pengelolaan segala aspek
operasional rumah sakit merupakan hal yang sangat penting.
Pengukuran merupakan
konsep sentral dalam peningkatan mutu. Dengan pengukuran akan tergambarkan apa
yang sebenarnya sedang dilakukan sarana pelayanan kesehatan dan
membandingkannya dengan target sesungguhnya atau harapan tertentu dengan tujuan
untuk mengidentifikasi kesempatan untuk adanya peningkatan mutu (Shaw, 2003).
Mengukur mutu pelayanan
kesehatan baik di tingkat primer seperti Puskesmas dan tingkat lanjut seperti
rumah sakit memerlukan indikator mutu yang jelas. Namun menyusun indikator yang
tepat tidaklah mudah. Kita perlu mempelajari pengalaman berbagai institusi yang
telah berhasil menyusun indikator mutu pelayanan kesehatan yang kemudian dapat
digunakan secara efektif mengukur mutu dan meningkatkan mutu.
Dengan kondisi
persaingan yang semakin tinggi antar rumah sakit, setiap rumah sakit saling
berpacu untuk memperluas pasarnya. Harapan adanya perluasan pasar secara
langsung adalah meningkatnya penjualan sehingga rumah sakit akan memiliki lebih
banyak konsumen (pasien). Namun, rumah sakit selaku produsen haruslah memahami
bahwa semakin banyak konsumen maka rumah sakit akan semakin sulit memahami
konsumennya secara teliti, terutama tentang suka atau tidaknya konsumen
terhadap barang dan jasa yang ditawarkan beserta alasan-alasan yang
mendasarinya.
Rumah sakit yang mampu
bersaing dalam pasar adalah rumah sakit yang mampu menyediakan produk atau jasa
berkualitas. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut untuk terus melakukan
perbaikan terutama pada kualitas pelayanannya. Hal ini dimaksudkan agar seluruh
barang atau jasa yang ditawarkan akan mendapat tempat yang baik di mata
masyarakat selaku konsumen dan calon konsumen.
Mengukur mutu pelayanan
kesehatan dimaksudkan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
1. Dapatkah mutu jasa pelayanan
kesehatan diukur ?
2.
Apanya yang diukur ?
3. Bagaimana mutu jasa pelayanan diukur
?
Untuk dapat memahami
hal tersebut diatas perlu diketahui tentang pengertian indikator, kriteria, dan
standar.
Indikator adalah
petunjuk atau tolak ukur, contoh : petunjuk indikator atau tolok ukur status
kesehatan antara lain adalah angka kematian ibu, angka kematian bayi, status
gizi. Petunjuk atau indikator ini (angka kematian ibu) dapat diukur. Jadi
indikator adalah fenomena yang dapat diukur.
Indikator mutu asuhan
kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada indikator yang relevan
berkaitan dengan struktur, proses, dan outcomes. Sebagai contoh, indikator
struktur: Tenaga kesehatan profesional (dokter, paramedis, dan sebagainya),
Anggaran biaya yang tersedia untuk operasional dan lain-lain, Perlengkapan dan
peralatan kedokteran termasuk obat-obatan, Metode berupa adanya standar
operasional prosedur masing-masing unit, dan sebagainya
indikator proses berupa memberikan petunjuk tentang
pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh
tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya, Apakah telah sebagaimana mestinya
sesuai dengan prosedur, diagnosa, pengobatan, dan penanganan seperti yang
seharusnya sesuai standar; indikator outcomes merupakan indikator hasil
daripada keadaan sebelumnya, yaitu Input dan Proses seperti BOR, LOS, TOI, dan
Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan Penyakit, Angka Kematian 48
jam, Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan , dan sebagainya.
Selanjutnya Indikator
dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Sebagai contoh: Indikator status gizi
dapat lebih dispesifikasikan lagi menjadi kriteria tinggi badan, berat badan
anak. Untuk pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah fenomena yang dapat
dihitung.
Setelah kriteria
ditentukan dibuatlah standar-standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif,
yang biasanya mencakup hal-hal yang standar baik, misalnya: panjang badan bayi
baru lahir yang sehat rata-rata (standarnya) adalah 50 cm; berat badan bayi
baru lahir yang sehat standar adalah 3 kg.
Mutu asuhan kesehatan
suatu organisasi pelayanan kesehatan dapat diukur dengan memperhatikan atau
memantau dan menilai indikator, kriteria, dan standar yang diasumsikan relevan
dan berlaku sesuai dengan aspek-aspek struktur, proses, dan outcome dari
organisasi pelayanan kesehatan tersebut.
Indikator mutu rumah sakit akan
mencerminkan mutu pelayanan dari rumah sakit tersebut.
Fungsi dari penetapan
indikator tersebut antara lain sebagai alat untuk melaksanakan manajemen
kontrol dan alat untuk mendukung pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan
kegiatan untuk masa yang akan datang.
Jenis-jenis
Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit:
1. Indikator
Pelayanan Non Bedah, terdiri dari:
a. Angka
Pasien dengan Dekubitus
b. Angka
Kejadian Infeksi dengan jarum infus.
c. Angka
Kejadian penyulit/infeksi karena Transfusi Darah.
d. Angka
Ketidak Lengkapan Catatan Medis.
e. Angka
Keterlambatan Pelayanan Pertama Gawat Darurat.
2. Indikator
Pelayanan, yang terdiri dari
a. Angka
Infeksi Luka Operasi.
b. Angka
Komplikasi Pasca Bedah.
c. Waktu
tunggu sebelum operasi effektif.
d. Angka
Appendik normal.
3. Indikator
Ibu Bersalin dan Bayi, terdiri dari :
a. Angka
Kematian Ibu karena Eklampsia Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
b. Angka
Kematian Ibu karena Perdarahan Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
c. Angka
Kematian Ibu karena Sepsis Kasus Rujukan dan bukan Rujukan.
d. Angka
Kematian Bayi dengan BB Lahir <= 2000 gram Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
4. Indikator
Mutu Pelayanan Medis
a. Angka
infeksi nosokomia
b. Angka
kematian kasar (Gross Death Rate)
c. Kematian
pasca bedah
d. Kematian
ibu melahirkan ( Maternal Death Rate-MDR)
e. Kematian
bayi baru lahir (Infant Death Rate-IDR)
f. NDR
(Net Death Rate di atas 48 jam)
g. ADR
(Anasthesia Death Rate)
h. PODR
(Post Operation Death Rate)
i.
POIR (Post Operative Infection Rate)
j.
Indikator mutu pelayanan untuk mengukur
tingkat efisiensi RS
k. Unit
cost untuk rawat jalan
5. Indikator
mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien
a. Jumlah
keluhan dari pasien/keluarganya
b. Indikator
cakupan pelayanan sebuah RS terdiri dari
c. Jumlah
dan pesentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak PS dengan asal pasien
d. Jumlah
pelayanan dan tindakan medik
e. Jumlah
tindakan pembedahan
f. Jumlah
kunjungan SMF spesialis
g. Pemfaatan
oleh masyarakat
h. Contact
rate
i.
Hospitalization rate
j.
Out patient rate
k. Emergency
out patient rate
6. Indikator
mutu yang mengacu pada keselamatan pasien
a. Angka
Kematian di IGD (IGD).
b. Angka
Perawatan Ulang (Rekam Medis).
c. Angka
Infeksi RS
d. .Reject
Analisis (Radiologi).
e. Angka
Ketidaksesuaian Penulisan Diet (Gizi).
f. Angka
Keterlambatan waktu pemberian makan (Gizi).
g. Angka
Kesalahan Pembacaan Hasil (laboratorium).
h. Angka
Waktu Penyelesain Resep (Farmasi).
i.
Angka Kesalahan Pemberian Obat
(Farmasi).
j.
Angka Banyaknya Resep yang Tidak
Terlayani (Farmasi).
Mutu
pelayanan medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan manajemen RS
(quality of services) dan keprofesionalan kinerja SMF dan staf lainnya di RS
(quality of care). Keduanya merupakan oucome dari manajemen manjaga mutu di RS
(quality assurance) yang dilaksanakan oleh gugus kendali mutu RS. Dalam hal
ini, gugus kendali mutu dapat ditugaskan kepada komite medik RS karena mereka
adalah staf fungsional (nonstruktural) yang membantu direktur RS dengan
melibatkan semua staf SMF RS.
Indikator-indikator
pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu,
dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari
sensus harian rawat inap :
a. BOR
(Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur) BOR menurut Huffman
(1994) adalah “the ratio of patient service days to inpatient bed count days in
a period under consideration”. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), BOR adalah
prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan
gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai
parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
Rumus :
BOR = (Jumlah hari perawatan rumah sakit
/ (Jumlah tempat tidur X Jumlah hari dalam satu periode)) X 100%
b. AVLOS
(Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat) AVLOS menurut
Huffman (1994) adalah “The average hospitalization stay of inpatient discharged
during the period under consideration”. AVLOS menurut Depkes RI (2005) adalah
rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan
gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan,
apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu
pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai AVLOS yang ideal antara 6-9
hari (Depkes, 2005).
Rumus :
AVLOS = Jumlah lama dirawat / Jumlah
pasien keluar (hidup + mati)
c. TOI
(Turn Over Interval = Tenggang perputaran) TOI menurut Depkes RI (2005) adalah
rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat
terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi
penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran
1-3 hari.
Rumus :
TOI = ((Jumlah tempat tidur X Periode) –
Hari perawatan) / Jumlah pasien keluar (hidup +mati)
d. BTO
(Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur) BTO menurut Huffman (1994)
adalah “...the net effect of changed in occupancy rate and length of stay”. BTO
menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu
periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu.
Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.
Rumus: :
BTO = Jumlah pasien keluar (hidup +
mati) / Jumlah tempat tidur
e. NDR
(Net Death Rate) NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam
setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan
gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
Rumus: :
NDR = (Jumlah pasien mati > 48 jam /
Jumlah pasien keluar (hidup + mati) ) X 1000 ‰
f. GDR
(Gross Death Rate)GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk
setiap 1000 penderita keluar.
Rumus: :
GDR = ( Jumlah pasien mati seluruhnya /
Jumlah pasien keluar (hidup + mati)) X
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indikator pelayanan kesehatan di rumah
sakit yakni BOR, LOS, BTO, TOI, NDR, GDR, ratio tenaga kesehatan, Ratio
pendapatan operasional, Kesesuaian ratio tempat tidur kelas 3, Kesesuaian
dengan SPM RS, Kejadian infeksi nosokomial, Waktu tunggu operasi elektif,
Proporsi persalinan seksio sesaria, Penggunaan obat generic, Ketidakhadiran
staf (absenteeism), Kesesuaian pengelolahan limbah, Kelengkapan organisasi
rumah sakit, Kecukupan peralatan sesuia kelas, Kelengkapan pelayanan rawat
jalan, Pencanangan kasus tuberklosis, Kejadian dekubitus, Beban penggunaan
kamar operasi,Kemampuan pelayanan intensif, Kemampuan sebagai RS PONEK,
Pelaksanaan kalibrasi peralatan, Kematian di gawat darurat.
Indicator pelayanan kesehatan di
puskesmas terdiri atas : Kondisi bangunan puskesmas, Ketersedian listrik 24
jam, Alat kesehatan sesuai standar, Kecukupan sarana computer ,Pelaksanaan
perencanaan, Pelaksanaan upaya kesehatan pilihan, Pelaksanaan UKBM, Pertemuan berkala
lintas sector, Persentase penduduk miskin ditangani, Cakupan desa siaga aktif,
Ketersediaan dan kecukupan air bersih, Kecukupan tenaga kesehatan, Ketersediaan
obatsesuai standar, Ketersediaan sarana transportasi, Kecukupan dana
operasional, Pelaksanaan upaya kesehatan
wajib, Rujukan medis dan kesmas, Pelaksanaan diskusi kasus(audit kasus),
Persentase penduduk ditangani, Prosentase kemandirian posyandu
Perkembangan system informasi
kesehatan dan pelaksanaan semua indicator ini sangat berperan guna mencapai
pelayanan kesehatan yang lebih memadai di masa yang akan datang. Penggunaan
sisten informasi secara tepat dapat mempercepat pelaksanaan semua indicator
yang telah di buat.
B. Saran
1. Diperlukan
adanya kerja sama dari semua pihak bukan hanya dari sector pemerintah dalam hal
ini pembuat kebijakan namun dari berbagai sector agar tujuan yang di harapkan
dari adanya indicator ini dapat terwujud.
2. Perlunya
ada kesadaran dari para petugas kesehatan dan masyarakat akan pentingnya
penggunaan system informasi agar dapat memudahkan dalam pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar