Senin, 03 Februari 2014

TEKNIK DAN ALAT BANTU MANAJEMEN MUTU RUMAH SAKIT

BAB I
Tinjauan Pustaka
1.      Alat bantu dan ukur Manajemen Rumah Sakit
Pengukuran merupakan konsep sentral dalam peningkatan mutu. Dengan pengukuran akan tergambarkan apa yang sebenarnya sedang dilakukan sarana pelayanan kesehatan dan membandingkannya dengan target sesungguhnya atau harapan tertentu dengan tujuan untuk mengidentifikasi kesempatan untuk adanya peningkatan mutu (Shaw, 2003).
Mengukur mutu pelayanan kesehatan baik di tingkat primer seperti Puskesmas dan tingkat lanjut seperti rumah sakit memerlukan indikator mutu yang jelas. Namun menyusun indikator yang tepat tidaklah mudah. Kita perlu mempelajari pengalaman berbagai institusi yang telah berhasil menyusun indikator mutu pelayanan kesehatan yang kemudian dapat digunakan secara efektif mengukur mutu dan meningkatkan mutu.
Salah satu pengalaman tersebut dapat dipelajari dari program Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospital (PATH) dengan langkah-langkah sebagai berikut (WHO, 2006) :
1.      Menyusun model konseptual: identifikasi dimensi dan sub-dimensi dan bagaimana hubungan antaranya satu sama lain
2.      Melakukan penapisan awal indikator kinerja yang ada dan critical review
3.      Menetapkan indikator komplementer untuk mengisi area-area yang belum ditunjang oleh indikator awal berdasarkan literatur ilmiah
4.      Melakukan pemilihan awal indikator berdasarkan expert opinion dan bukti-bukti awal
5.      Melakukan penelitian yang ekstensif untuk mendapatkan literatur mengenai angka prevalensi, bukti pendukung, reliabitas dan validitas, survey pada negara yang berpartisipasi
6.      Melakukan pemilihan akhir berdasarkan pakar, berdasarkan informasi yang didapatkan pada langkah 5, menggunakan nominal group tehnic (NGT)
Dalam pemilihan tersebut, WHO menggunakan kriteria-kriteria berikut ini (WHO, 2006) :
1.      Kriteria untuk indikator
a.       Tingkat kepentingan dan relevansi: indikator harus menggambarkan aspek-aspek yang bermanfaat bagi penggunanya dan relevan dengan konteks kesehatan saat ini. Kepentingan tersebut dapat diperjelas dengan adanya kebijakan nasional ataupun internasional (seperti WHO Health for All Framework). Indikator klinis harus berfokus pada kejadian yang memiliki angka prevalensi tinggi (high prevalence rate) dan memiliki beban berat (high burden).
b.      Berpotensi untuk dapat digunakan (dan disalahgunakan) dan hasilnya dapat ditindaklanjuti: rumah sakit harus dapat menindaklanjuti permasalahan yang muncul dari indikator yang ada. Dengan demikian, rumah sakit harus memiliki tanggung jawab, kontrol substansial, dan kemampuan untuk mengimplementasikan strategi untuk peningkatan kinerja.
2.      Kriteria untuk alat ukur
a.       Reliabilitas: Indikator diharapkan memiliki spesifikasi yang detail dan jelas untuk numerator dan denominatornya. Pengumpulan data yang seragam mudah dipahami dan mudah untuk diimplementasikan. Reliabilitas meningkat ketika pengukuran yang dilakukan hanya sesedikit mungkin bergantung pada penilaian subyektif. Ini juga termasuk konsep konsistensi internal, stabilitas test/test ulang, dan kesepahaman antar pengukuran.
b.      Face Validity (juga dikenal sebagai akseptabilitas): terdapat kesepakatan di antara pengguna dan pakar bahwa pengukuran ini berhubungan dengan dimensi (atau subdimensi) yang akan dijangkau.
c.       Content Validity: model teoritis mendukung bahwa pengukuran ini berhubungan dengan subdimensi kinerja yang akan dijangkau dan pengukuran ini menjangkau seluruh domain dan tidak hanya sebagian aspek spesifik saja.
d.      Contruct Validity: bukti empiris menunjukkan bahwa pengukuran ini berhubungan dengan pengukuran kinerja yang lainnya
e.       Beban untuk pengumpulan data: ini termasuk juga pertimbangan ketersediaan data, biaya, ketepatan waktu sehingga didapatkan data yang berkualitas, dan derajat kemudahan untuk pengumpulan data. Indikator (misalnya kejadian sentinel) tidak harus dieksklusi hanya karena data yang dibutuhkan tidak akurat atau sering hilang. Justru adanya pengukuran ini dapat dipergunakan sebagai kesempatan untuk mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan akan pendidikan dan peningkatan untuk menunjang sistem informasi yang efektif. Demikian pula untuk indikator yang berdasarkan data yang dikumpulkan secara manual tidak harus dieksklusi karena malah dapat menjadi sarana latihan dan belajar bagi staf dan meningkatkan kualitas pengumpulan data.
3.      Kriteria untuk kumpulan indikator
a.       Face Validity: Apakah kumpulan indikator tersebut dapat diterima oleh para penggunanya?
b.      Content Validity: Apakah semua dimensi dijangkau dengan tepat?
c.       Construct Validity: Bagaimana indikator-indikator tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya? Apakah indikator dari dimensi yang berbeda saling berhubungan (discrimination criteria)? Apakah indikator dari dimensi yang sama saling berhubungan (convergence criteria)?
Pengalaman lain yang dapat dicontoh adalah dari proses pemilihan indikator kinerja menurut USAID (1996), yang terdiri atas:
a.       Klasifikasi pernyataan hasil – Indikator kinerja yang baik diawali dengan pernyataan hasil yang baik yang dapat dipahami dan disetujui oleh semua orang.
b.      Susun daftar kemungkinan indikator yang ada – Biasanya terdapat beberapa macam indikator untuk suatu outcome yang diinginkan, tetapi beberapa lebih tepat dan lebih bermanfaat daripada yang lainnya. Dalam pemilihan indiator, jangan terlalu cepat menentukan pilihan pada indikator yang muncul pertama dalam pikiran karena nyaman atau dirasa lebih jelas. Lebih baik disusun daftar alternatif yang ada, kemudian dinilai dengan suatu kriteria.
c.       Lakukan penilaian pada setiap indikator yang memungkinkan. Dalam pemilihan ini dapat digunakan tujuh kriteria berikut untuk menilai ketepatan dan manfaat dari masing-masing indikator. Ketika menilai dan membandingkan masing-masing indikator yang ada, sangat baik apabila digunakan matriks dengan tujuh kriteria tersebut pada satu baris atas dan kandidat indikator yang ada didaftar ke bawah. Dengan skoring sederhana, seperti dengan angka 1-5, nilai masing-masing indikator terhadap masing-masing kriteria tersebut. Peringkat ini akan membantu dalam proses pemilihan. Bagaimanapun, proses ini dapat diterapkan secara fleksibel karena tidak semua tujuh kriteria tersebut sama-sama pentingnya.
d.      Pilih indikator kinerja yang terbaik – Langkah selanjutnya ialah dengan mempersempit daftar indikator tersebut menjadi daftar indikator final yang akan digunakan untuk menilai kinerja. Dalam hal ini juga harus diperhatikan untuk selektif dalam menetapkan indikator, karena dalam setiap pengumpulan dan analisis data selalu dibutuhkan biaya. Pembatasan jumlah indikator yang digunakan untuk suatu tujuan tertentu harus dilakukan (dua atau tiga indikator saja untuk suatu tujuan yang serupa). Pilih hanya indikator yang mewakili
e.       dimensi dasar dan penting dari tujuan yang ingin dicapai.


BAB II
ISI
Mutu adalah faktor yang mendasar dari pelanggan. Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif (Wiyono, 1999).
Berikut ini definisi-definisi mutu:
a.       Juran menyebutkan bahwa mutu produk adalah kecocokan
penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan  pelanggan
b.      Crosby mendefinisikan mutu adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan
c.       Deming mendefinisikan mutu bahwa mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar
d.      Feigenbaum mendefinisikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya
e.       Garvin dan Davis menyebutkan bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.

Manajemen Mutu merupakan suatu konsep manajemen dalam merespon berbagai perubahan internal maupun eksternal, untuk fokus pada tujuan organisasi agar dapat memenuhi kebutuhan pelanggannya dengan memberikan barang dan jasa yang terbaik. Dalam konteks rumah sakit, manajemen mutu menjadi semakin penting dan kritikal mengingat dampaknya terkait dengan nyawa pasien. Mengacu pada WHO.
 Rumah Sakit merupakan suatu kesatuan organisasi sosial dan medis, yang berfungsi sebagai :
1.      penyedia layanan kesehatan yang terjangkau bagi pasien
2.      lembaga pelatihan bagi para pekerja di bidang medis
3.      lembaga penelitian sosial dan biologis. Untuk mendukung keseluruhan fungsi tersebut, mutu layanan kepada pasien sebagai efek dari pengelolaan segala aspek operasional rumah sakit merupakan hal yang sangat penting.

Pengukuran merupakan konsep sentral dalam peningkatan mutu. Dengan pengukuran akan tergambarkan apa yang sebenarnya sedang dilakukan sarana pelayanan kesehatan dan membandingkannya dengan target sesungguhnya atau harapan tertentu dengan tujuan untuk mengidentifikasi kesempatan untuk adanya peningkatan mutu (Shaw, 2003).

Mengukur mutu pelayanan kesehatan baik di tingkat primer seperti Puskesmas dan tingkat lanjut seperti rumah sakit memerlukan indikator mutu yang jelas. Namun menyusun indikator yang tepat tidaklah mudah. Kita perlu mempelajari pengalaman berbagai institusi yang telah berhasil menyusun indikator mutu pelayanan kesehatan yang kemudian dapat digunakan secara efektif mengukur mutu dan meningkatkan mutu.

Dengan kondisi persaingan yang semakin tinggi antar rumah sakit, setiap rumah sakit saling berpacu untuk memperluas pasarnya. Harapan adanya perluasan pasar secara langsung adalah meningkatnya penjualan sehingga rumah sakit akan memiliki lebih banyak konsumen (pasien). Namun, rumah sakit selaku produsen haruslah memahami bahwa semakin banyak konsumen maka rumah sakit akan semakin sulit memahami konsumennya secara teliti, terutama tentang suka atau tidaknya konsumen terhadap barang dan jasa yang ditawarkan beserta alasan-alasan yang mendasarinya.

Rumah sakit yang mampu bersaing dalam pasar adalah rumah sakit yang mampu menyediakan produk atau jasa berkualitas. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut untuk terus melakukan perbaikan terutama pada kualitas pelayanannya. Hal ini dimaksudkan agar seluruh barang atau jasa yang ditawarkan akan mendapat tempat yang baik di mata masyarakat selaku konsumen dan calon konsumen.

Mengukur mutu pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Dapatkah mutu jasa pelayanan kesehatan diukur ?
2.  Apanya yang diukur ?
3. Bagaimana mutu jasa pelayanan diukur ?

Untuk dapat memahami hal tersebut diatas perlu diketahui tentang pengertian indikator, kriteria, dan standar.

Indikator adalah petunjuk atau tolak ukur, contoh : petunjuk indikator atau tolok ukur status kesehatan antara lain adalah angka kematian ibu, angka kematian bayi, status gizi. Petunjuk atau indikator ini (angka kematian ibu) dapat diukur. Jadi indikator adalah fenomena yang dapat diukur.

Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada indikator yang relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcomes. Sebagai contoh, indikator struktur: Tenaga kesehatan profesional (dokter, paramedis, dan sebagainya), Anggaran biaya yang tersedia untuk operasional dan lain-lain, Perlengkapan dan peralatan kedokteran termasuk obat-obatan, Metode berupa adanya standar operasional prosedur masing-masing unit, dan sebagainya

 indikator proses berupa memberikan petunjuk tentang pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya, Apakah telah sebagaimana mestinya sesuai dengan prosedur, diagnosa, pengobatan, dan penanganan seperti yang seharusnya sesuai standar; indikator outcomes merupakan indikator hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu Input dan Proses seperti BOR, LOS, TOI, dan Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan Penyakit, Angka Kematian 48 jam, Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan , dan sebagainya.

Selanjutnya Indikator dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Sebagai contoh: Indikator status gizi dapat lebih dispesifikasikan lagi menjadi kriteria tinggi badan, berat badan anak. Untuk pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah fenomena yang dapat dihitung.

Setelah kriteria ditentukan dibuatlah standar-standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup hal-hal yang standar baik, misalnya: panjang badan bayi baru lahir yang sehat rata-rata (standarnya) adalah 50 cm; berat badan bayi baru lahir yang sehat standar adalah 3 kg.
           
Mutu asuhan kesehatan suatu organisasi pelayanan kesehatan dapat diukur dengan memperhatikan atau memantau dan menilai indikator, kriteria, dan standar yang diasumsikan relevan dan berlaku sesuai dengan aspek-aspek struktur, proses, dan outcome dari organisasi pelayanan kesehatan tersebut.
Indikator mutu rumah sakit akan mencerminkan mutu pelayanan dari rumah sakit tersebut.

Fungsi dari penetapan indikator tersebut antara lain sebagai alat untuk melaksanakan manajemen kontrol dan alat untuk mendukung pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan kegiatan untuk masa yang akan datang.
Jenis-jenis Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit:
1.      Indikator Pelayanan Non Bedah, terdiri dari:
a.       Angka Pasien dengan Dekubitus
b.      Angka Kejadian Infeksi dengan jarum infus.
c.       Angka Kejadian penyulit/infeksi karena Transfusi Darah.
d.      Angka Ketidak Lengkapan Catatan Medis.
e.       Angka Keterlambatan Pelayanan Pertama Gawat Darurat.

2.      Indikator Pelayanan, yang terdiri dari
a.       Angka Infeksi Luka Operasi.
b.      Angka Komplikasi Pasca Bedah.
c.       Waktu tunggu sebelum operasi  effektif.
d.      Angka Appendik normal.

3.      Indikator Ibu Bersalin dan Bayi, terdiri dari :
a.       Angka Kematian Ibu karena Eklampsia Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
b.      Angka Kematian Ibu karena Perdarahan Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
c.       Angka Kematian Ibu karena Sepsis Kasus Rujukan dan bukan Rujukan.
d.      Angka Kematian Bayi dengan BB Lahir <= 2000 gram Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.

4.      Indikator Mutu Pelayanan Medis
a.       Angka infeksi nosokomia
b.      Angka kematian kasar (Gross Death Rate)
c.       Kematian pasca bedah
d.      Kematian ibu melahirkan ( Maternal Death Rate-MDR)
e.       Kematian bayi baru lahir (Infant Death Rate-IDR)
f.       NDR (Net Death Rate di atas 48 jam)
g.      ADR (Anasthesia Death Rate)
h.      PODR (Post Operation Death Rate)
i.        POIR (Post Operative Infection Rate)
j.        Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS
k.      Unit cost untuk rawat jalan

5.      Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien
a.       Jumlah keluhan dari pasien/keluarganya
b.      Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri dari
c.       Jumlah dan pesentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak PS dengan asal pasien
d.      Jumlah pelayanan dan tindakan medik
e.       Jumlah tindakan pembedahan
f.       Jumlah kunjungan SMF spesialis
g.      Pemfaatan oleh masyarakat
h.      Contact rate
i.        Hospitalization rate
j.        Out patient rate
k.      Emergency out patient rate

6.      Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien
a.       Angka Kematian di IGD (IGD).
b.      Angka Perawatan Ulang (Rekam Medis).
c.       Angka Infeksi RS
d.      .Reject Analisis (Radiologi).
e.       Angka Ketidaksesuaian Penulisan Diet (Gizi).
f.       Angka Keterlambatan waktu pemberian makan (Gizi).
g.      Angka Kesalahan Pembacaan Hasil (laboratorium).
h.      Angka Waktu Penyelesain Resep (Farmasi).
i.        Angka Kesalahan Pemberian Obat (Farmasi).
j.        Angka Banyaknya Resep yang Tidak Terlayani (Farmasi).

Mutu pelayanan medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan manajemen RS (quality of services) dan keprofesionalan kinerja SMF dan staf lainnya di RS (quality of care). Keduanya merupakan oucome dari manajemen manjaga mutu di RS (quality assurance) yang dilaksanakan oleh gugus kendali mutu RS. Dalam hal ini, gugus kendali mutu dapat ditugaskan kepada komite medik RS karena mereka adalah staf fungsional (nonstruktural) yang membantu direktur RS dengan melibatkan semua staf SMF RS.
Indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap :
a.       BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur) BOR menurut Huffman (1994) adalah “the ratio of patient service days to inpatient bed count days in a period under consideration”. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).

Rumus :
BOR = (Jumlah hari perawatan rumah sakit / (Jumlah tempat tidur X Jumlah hari dalam satu periode)) X 100%
b.      AVLOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat) AVLOS menurut Huffman (1994) adalah “The average hospitalization stay of inpatient discharged during the period under consideration”. AVLOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai AVLOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005).
Rumus :
AVLOS = Jumlah lama dirawat / Jumlah pasien keluar (hidup + mati)
c.       TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran) TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.
Rumus :
TOI = ((Jumlah tempat tidur X Periode) – Hari perawatan) / Jumlah pasien keluar (hidup +mati)
d.      BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur) BTO menurut Huffman (1994) adalah “...the net effect of changed in occupancy rate and length of stay”. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.
Rumus: :
BTO = Jumlah pasien keluar (hidup + mati) / Jumlah tempat tidur
e.       NDR (Net Death Rate) NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
Rumus: :
NDR = (Jumlah pasien mati > 48 jam / Jumlah pasien keluar (hidup + mati) ) X 1000 ‰
f.       GDR (Gross Death Rate)GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar.

Rumus: :
GDR = ( Jumlah pasien mati seluruhnya / Jumlah pasien keluar (hidup + mati)) X 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
       Indikator pelayanan kesehatan di rumah sakit yakni BOR, LOS, BTO, TOI, NDR, GDR, ratio tenaga kesehatan, Ratio pendapatan operasional, Kesesuaian ratio tempat tidur kelas 3, Kesesuaian dengan SPM RS, Kejadian infeksi nosokomial, Waktu tunggu operasi elektif, Proporsi persalinan seksio sesaria, Penggunaan obat generic, Ketidakhadiran staf (absenteeism), Kesesuaian pengelolahan limbah, Kelengkapan organisasi rumah sakit, Kecukupan peralatan sesuia kelas, Kelengkapan pelayanan rawat jalan, Pencanangan kasus tuberklosis, Kejadian dekubitus, Beban penggunaan kamar operasi,Kemampuan pelayanan intensif, Kemampuan sebagai RS PONEK, Pelaksanaan kalibrasi peralatan, Kematian di gawat darurat.
        Indicator pelayanan kesehatan di puskesmas terdiri atas : Kondisi bangunan puskesmas, Ketersedian listrik 24 jam, Alat kesehatan sesuai standar, Kecukupan sarana computer ,Pelaksanaan perencanaan, Pelaksanaan upaya kesehatan pilihan, Pelaksanaan UKBM, Pertemuan berkala lintas sector, Persentase penduduk miskin ditangani, Cakupan desa siaga aktif, Ketersediaan dan kecukupan air bersih, Kecukupan tenaga kesehatan, Ketersediaan obatsesuai standar, Ketersediaan sarana transportasi, Kecukupan dana operasional, Pelaksanaan  upaya kesehatan wajib, Rujukan medis dan kesmas, Pelaksanaan diskusi kasus(audit kasus), Persentase penduduk ditangani, Prosentase kemandirian posyandu
         Perkembangan system informasi kesehatan dan pelaksanaan semua indicator ini sangat berperan guna mencapai pelayanan kesehatan yang lebih memadai di masa yang akan datang. Penggunaan sisten informasi secara tepat dapat mempercepat pelaksanaan semua indicator yang telah di buat.

B.     Saran
1.      Diperlukan adanya kerja sama dari semua pihak bukan hanya dari sector pemerintah dalam hal ini pembuat kebijakan namun dari berbagai sector agar tujuan yang di harapkan dari adanya indicator ini dapat terwujud.

2.      Perlunya ada kesadaran dari para petugas kesehatan dan masyarakat akan pentingnya penggunaan system informasi agar dapat memudahkan dalam pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar