Senin, 03 Februari 2014

HUBUNGAN TERAPI HORMON DENGAN PENYAKIT TERTENTU DAN PEMBERIAN OBAT SECARA RASIONAL PADA LANSIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Manakala usia merangkak senja, katakanlah sejak umur 50 tahun, jam biologis lambat laun melemah detaknya, seolah-olah merupakan sinyal bahwa tingkat kesuburan mulai menurun. Pada perempuan produksi dua jenis hormon paling berpengaruh dalam proses reproduksi, yaitu estrogen dan progesteron, secara perlahan tapi pasti mulai berkurang. Itulah pertanda menopause menjelang.
Menopause atau menopause (karena usia lanjut), sesuatu yang tidak asing bagi kaum perempuan, tidak jarang menimbulkan perasaan tidak menentu, takut, dan bingung. Demikian meresahkannya bayangan itu, barangkali sampai muncul perasaan, menopause janganlah terjadi, kalau mungkin.Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006).
Hasil Penelitian di Amerika mengeluarkan suatu data yang berisi tentang klarifikasi keuntungan dan resiko terapi sulih hormon (TSH) setelah menopause. Hasil penelitian menemukan bahwa TSH secara nyata dapat mengurangi resiko kematian, kendatipun demikian hal tersebut baru akan akan muncul setelah 3 tahun menghentikan TSH. Keuntungan terbesarnya baru akan terasa setelah satu dekade pemakaian, dimana wanita pengguna TSH 37% lebih rendah tinggkat resiko kematiannya dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan TSH, resiko kematian itu umumnya karena penyakit jantung. Meskipun wanita mengadapi peningkatan 43 persen resiko kanker payudara setelah sepuluh tahun atau lebih, TSH masih berasosiasi dengan penurunan keseluruhan angka kematian dari 20 persen. Penelitian menunjukkan bahwa TSH melindungi wanita dari beberapa penyakit lainnya, menyangsikan kecenderungan dokter merekomendasikan ini ke semua wanita yang memasuki masa menopause. Wanita dengan satu atau banyak faktor resiko untuk penyakit jantung, seperti sejarah keluarga atau kegemukan,lebih bayak keuntungannya, tetapi untuk yang dengan resiko kanker tinggi dan resiko penyakit jantung rendah, keuntungan mungkinnya tidak sebanding dengan beratnya lebih resiko.
Terapi hormon menjadi terlihat menakutkan bagi perempuan, khususnya perempuan paruh baya yang memasuki usia menopause. Padahal harapan hidup perempuan terus meningkat dibanding harapan hidup laki-laki. Di Indonesia, angka harapan hidup perempuan melonjak dari 40 tahun pada tahun 1930 menjadi 67 tahun pada tahun 1998, sedang laki-laki dari 38 tahun menjadi 63 tahun dalam kurun waktu sama. Sementara perkiraan umur rata-rata usia menopause di Indonesia adalah 48 tahun.
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka semakin banyak pula perempuan yang mengalami menopause dengan berbagai keluhannya. Gejala yang ditimbulkan bisa berupa perdarahan yang tidak biasa, berdebar-debar, rasa gerah dan keringat malam (hot flushes) hingga radang vagina (vaginitis atrophia), nyeri bila berhubungan seksual dan infeksi saluran kemih. Bahkan dapat meningkatkan risiko pengeroposan tulang (osteoporosis), penyakit jantung, serta kemungkinan menderita Alzheimer. Biang gejala-gejala ini adalah penurunan hormon estrogen pada masa menopause. Menurut para ahli hormon penurunan mencapai 20 persen dibandingkan dengan pada waktu sebelum menopaus.
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian.
Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).

2.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk :
2.1.   Memberikan pengertian tentang terapi hormone dengan penyakit tertentu dan pemberian obat secara rasional pada lansia.
2.2.   Memberikan pemahaman hubungan terapi hormone dengan penyakit tertentu dan pemberian obat secara rasional pada lansia.

3.      Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah untuk :
3.1.   Menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan terapi hormone dengan penyakit tertentu dan pemberian obat secara rasional pada lansia.
3.2.   Memberikan tambahan pengetahuan pada pelayan kesehatan tentang hubungan terapi hormone dengan penyakit tertentu dan pemberian obat secara rasional pada lansia.

4.      Sistematika Penulisan
BAB I       PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan, sistematika penulisan.
BAB II      PEMBAHASAN
Membahas tentang asuhan yang telah dilakukan berdasarkan standar-standar acuan dan teori yang mendukung.
BAB III    PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan adalah resume dari teori serta asuhan yang telah dilakukan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA




BAB II
PEMBAHASAN

1.      TERAPI SULIH HORMON ( TSH )
a.      Pengertian TSH
Terapi Sulih Hormon (TSH) adalah perawatan medis yang menghilangkan gejala-gejala pada wanita selama dan setelah menopause. Menopause adalah berhentinya masa haid pada wanita sehingga kemampuan untuk bereproduksi sudah tiadak ada, hal ini ditandai dengan perubahan hormonal yang nyata pada tubuhnya. Hal ini juga menyebabkan menurunnya jumlah hormon estrogen, dimana hormon ini merupakan hormon yang berhunbungan dengan sistem reproduksi, yang menyebabkan wanita merasakan gejala tak enak, termasuk panas pada wajah, vaginal kekeringan, sifat lekas marah, dan depresi. TSH secara parsial mengembalikan keseimbangan estrogen di tubuh wanita untuk mengurangi atau mengeliminasi gejala ini. THS dapat meringankan penderitaan tidak hanya pada wanita dewasa yang mengalami menopause alami, tetapi juga di wanita muda yang mungkin mengalami menopause prematur untuk alasan medis, seperti kanker atau sebab kelainan ovarium yang berhenti menghasilkan estrogen.
Sebagai tambahan dalam mengurangi gejala asosiasi dengan menopause, TSH memiliki banyak keuntunga dan bahkan proteksi dari penyakit tertentu, termasuk osteoporosis, penyakit jantung, dan stroke. Studi medis yang sedang berjalan telah menunjukkanbahwa menggunakan TSH, dalam jangka panjang itu tidak selalu berguna, dan dalam beberapa peristiwa ini mungkin sebenarnya menaikkan resiko kanker, serangan jantung, dan penyakit lain.

b.      Penggunaan Terapi Sulih Hormon & Efek yang Ditimbulkannya
Dimulai dengan pubertas dan berikut tiga atau empat dasawarsa, tubuh wanita mengalami siklus hormonal teratur, hal ini memungkinkan wanita dapat hamil dan melahirkan anak. Estrogen dan hormon lainnya, progesterone, dikeluarkan oleh ovarium selama ovulasi, sebulan proses di mana telur dilepaskan dari ovarium dan dipersiapkan untuk fertilization dengan sperma. Estrogen memiliki peranan dalam hal ini sementara progesterone mempengaruhi lapisan permukaan jaringan vagina dan rahim, membuat kondisi yang banyak baik bagi ovum untuk dibuahi. Jika kehamilan tidak terjadi, bagian dari endometrium (bahan pelapis uterus) akan meluruh melalui vagina selama haid. Sebagai tambahan terhadap peranan dalam reproduksi, estrogen beredar di aliran darah, mempengaruhi bagian-bagian lain dari tubuh, termasuk otak, pembuluh darah, tulang, dan sel-sel lemak.
Pada menopause, yang dialami oleh wanita pada usia 40-an atau awal 50-an, secara berangsur-angsur ovarie berhenti menghasilkan estrogen, menyebabkan penurunan tingkat estrogen di dalam darah. Setelah lewat beberapa tahun, estrogen ini tidak lagi diproduksi yang menyebabkan berbagai, perubahan dalam organ tubuh termasuk vagina, rahim, kandung kemih, saluran kemih, payudara, tulang, hati, pembuluh darah, dan otak.
Pada beberapa wanita, perubahan ini memicu efek samping tak enak. Gejala yang biasa berasosiasi dengan menopause termasuk flush. Tahap ini bisa terjadi beberapa menit, bahkan secara mendadak akan terasa sangat panas di muka dan bagian tubuh atas, beserta keringat yang bercucuran.
Palpasi pada jantung dan perasaan lemas dapat juga terjadi. Flashe diakibatkan oleh hilangnya estrogen pada sistem signaling hormon dari otak yang dikenal sebagai hypothalamu, yang terletak di daerah sistem pengatur suhu tubuh.
Gejala lainnya menopause yang mempengaruhi wanita meliputi perubahan pada bahan pelapis dan elastisitas vagina. Vagina mungkin mengerut dan menjadi cenderung akan kekeringan, mendorong ke arah sakit selama hubungan seksual. Sejumlah perubahan perasaan emosional dan kejiwaan terjadi selama menopause tersebut, pada beberapa wanita biasa berakibat hilangnya siklus tidur, hilangnya libido, sebagian kehilangan ingatan dan depresi.
Penurunan tingkat estrogen pada wanita menopause merupakan hal yang menarik bagi dokter dan pasien selama bertahun-tahun. Estrogen sintesis telah dikembangkan sejak 1920 samapi pertengahan 1930 yang bertujuan untuk menghilnagkan gejala-gejala menopause. Pada pertengahan tahun 1960 buku ‘feminin forever’ menggunakan estrogen buatan sebagai cara untuk tetap menjadi awet muda dan cantik. Penggunaan TSH mengurangi secara drastic hubungan diantara penggunaan dari estrogen buatan dan resiko tinggi kanker endometrial di tahun 1970.
Penggunaan TSH secara bertahap meningkat sejak tanuh bila riset jangka panjang menunjukkan efek protektif TSH melawan osteoporosis dan penyakit jantung. Memperbaiki waktu pemulihan dan sistem penghantaran pada tubuh menjadikan penggunaan TSH meningkat di USA. Mengurangi resiko kanker endometrial, dokter jauh lebih mungkin memberi dosis lebih rendah estrogen dan dikombinasi dengan progesterone.
Selanjutnya, banyak perbedaan formulasi dan dosis yang sekarang diizinkan dokter ke tiap pasien lebih baik agar TSH dapat berjalan optimal. Meskipun kita ketahui lebih banyak TSH pada hari ini masih diliputi oleh kontroversi anatara resiko dan keuntungannya.
Bagi wanita yang menggunakan TSH sering terjadi peningkatan resiko kanker endometrial dan kanker payudara sehubungan dengan penggunaan estrogen, terkhusus untuk memperpanjang waktu penggunaan, akan menimbulkan efek samping seperti mual, pendarahan tak dapat diramalkan, bloating, dan fluktuasi keadaan pikiran. Suatu alasan bagi yang mengguankan TSH menyatakan bahwa hal itu tidak hanya meringankan gejala menopause tapi juga mengurangi resiko osteoporosis, penyakit jantung dan alzheimer. Penyakit tersebut lebih banyak resikonya dibandingkan dengan kanker pada sehat wanita di masa postmenopausal. Sampai lebih banyak informasi efek tentang TSH hubungannya dengan penyakit, setiap wanita harus membantu dokternya, menimbang resiko dan keuntungan-keuntungan penggunaannya. Bagaimanapun penggunaan TSH pada wanita tergantung pada banyak faktor, termasuk bagaimana dia melihat resiko dan keuntungan-keuntungan TSH dibandingkan dengan potensi resiko yang akan dihadapinya serta berbagai macam penyakit yang kemungkinan timbul selama pengobatan.
Diakhir 1960 dan awal 1970, ketika terapi estrogen pertama kali meluas diberi kepada wanita menopause, dokter memperingatkan akan adanya kemungkinan bertambahnya kasus kanker endometrium. Peresepan untuk estrogen kemudian menjadi sangat menurun, sampai ditemukannya metode untuk menggabungkan progesterone dengan estrogen. Progesterone sebagai bagian dari siklus mentruasi secara alami menetralkan efek estrogen di endometrium.
Bagi wanita yang memilih terapi ini, TSH digunakan dalam pola yang berbeda dengan hanya menggunakan estrogen saja, biasanya itu digunakan bagi waniya yang telah melakukan histerektomi ( pemindahan berkenaan dengan pembedahan rahim dan ovarium). Bermacam-macam jenis dan takaran estrogen dapat diberikan dalam wujud pil harian atau pil. Penggunaan yang umum berupa pil estrogen konjugasi yang dicampur air kencing kuda yang hamil. Estrogen juga dapat diberikan sebagai patch transdermal yang ditancapkan dikulit dan diganti setiap beberapa hari; patch ini berfungsi untuk terus mengeluarkan estrogen ke aliran darah.
Saat ini dokter biasa menetapkan jenis TSH yang merupakan kombinasi estrogen dan progesterone sintetis, yang dikenal sebagai progestin. Kedua hormon mungkin pemberiannya dalam tahapan-tahapan tertentu, dengan memberikan estrogen setiap hari dan ditambahkan progestin pada selama 12 hari dalam sebulan. Estrogen dan progestin juga biasa diberikan dalam wujud pil gabungan yang diminun setiap hari. Kira-kira 90 persen wanita dengan rahim yang utuh kembali mengalami menstruasi selama terapi n gabungan estrogen dan progestin. Inilah yang juga menjadi alasan wanita menggunakan TSH.

c.       Berikut ini beberapa risiko akibat terapi hormonal, sebagian sudah dikonfirmasi oleh data klinis, sedangkan beberapa data masih menjadi kontroversi di kalangan akademisi
1)      Kanker payudara
Data penelitian tentang benar-tidaknya terapi hormonal menggunakan preparat estrogen dapat menyebabkan kanker payudara masih kontroversial. Risiko kanker payudara meningkat secara signifikan jika penggunaan terapi sulih hormon dilakukan dalam waktu lama. Para peneliti sangat yakin, risiko kanker payudara semakin besar jika terapi sulih hormon (dengan estrogen) berlangsung lebih dari 10 tahun. Anda yang hendak memilih terapi hormonal dengan preparat estrogen disarankan untuk mendiskusikannya secara intensif dengan dokter.

2)      Kanker Rahim
Penelitian-penelitian klinis pada saat ini sudah mencapai konfirmasi bahwa terapi hormonal dengan preparat estrogen saja dapat menyebabkan kanker rahim. Risiko ini dapat diperkecil dengan memberikan hormon progesteron selama 12 hari setiap siklus menstruasi.

3)      Problem Kantung Empedu
Problem ini banyak dijumpai pada perempuan yang menggunakan terapi hormonal dalam jangka panjang.

4)      Tekanan Darah Tinggi
Estrogen dahulu diduga dapat menyebabkan naiknya tekanan darah pada sebagian pemakai terapi sulih hormon. Penelitian terkini menyimpulkan, pada dasarnya terapi ini tidak menyebabkan naiknya tekanan darah, sehingga aman bagi wanita penderita tekanan darah tinggi, asalkan tekanan darahnya dipantau secara saksama.
Selain berbagai risiko tadi, efek samping terapi sulih hormon juga sering menimbulkan keraguan. Sebagaimana layaknya prinsip kerja suatu obat, obat apa pun punya efek sampingan, tak terkecuali terapi sulih hormon. Banyak wanita yang menderita efek sampingan tidak mengenakkan, tetapi tidak sedikit juga yang mengalami efek yang menguntungkan. Efek yang tak dikehendaki diatasi dengan mengubah dosis. Bagi yang tubuhnya tak mampu mengatasi efek sampingan yang merugikan, ada baiknya penggunaan terapi sulih hormon dihentikan saja.
Jika sediaan progesteron digunakan bersama dengan sediaan estrogen, sebagian besar akan mengalami perdarahan bulanan sebagaimana layaknya siklus menstruasi. Efek sampingan yang mungkin dialami para wanita pengguna terapi hormon di antaranya mual, payudara menjadi lebih besar dan lebih lembut, puting payudara berdiri, dan menjadi lebih gemuk. Efek itu mungkin akan semakin berkurang seiring dengan lamanya masa terapi. Sedangkan efek sampingan yang agak jarang dijumpai, antara lain kekurangan dorongan untuk berhubungan intim, depresi, perdarahan di tengah-tengah siklus menstruasi, sakit pada dada dan persendian (kaki). Jika mengalami efek sampingan seperti itu, segeralah memeriksakan diri ke dokter.
Setiap perempuan secara alami mempunyai kadar hormon estrogen tinggi dalam darahnya, ada pula yang rendah. Pemeriksaan kadar hormon dapat mendeteksi masalah ini. Bila memasuki masa menopause kelak Anda termasuk memiliki kadar hormon estrogen tinggi, Anda tidak memerlukan terapi sulih hormon. Demikian pula bila dijumpai benjolan-benjolan yang belum terdiagnosis pada payudara dan mempunyai riwayat kanker payudara, kanker rahim, kelainan hati, dan kelainan penggumpalan darah.

d.      Hubungan Penyakit Hipertensi saat Menopause Dengan Terapi Sulih Hormon (TSH)
Gender memainkan peran yang penting terhadap tekanan darah. Wanita pre-menopause memiliki tekanan darah yang lebih rendah daripada pria dengan usia yang sama. Dibandingkan dengan wanita pre-menopause, wanita menopause memiliki tekanan darah yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hormon pada ovarium dapat memodulasi tekanan darah. Dilaporkan bahwa kedua tekanan darah yakni sistolik dan diastolik berkaitan erat dengan usia menopause, BMI (Body Mass Index), terapi perubahan hormon, dan denyut nadi.
Untuk mengetahui lebih lanjut hubungan antara menopause dengan hipertensi ada penelitian yang dilakukan oleh Megan Coylewright dan koleganya. Hasil penelitian menemukan bahwa wanita dalam masa menopause lebih tinggi tekanan darahnya ketimbang wanita pre-menopause.
Wanita dalam masa menopause ditemukan memiliki tekanan darah sistolik lebih besar daripada pria dengan BMI dan umur yang sama. Sedangkan tekanan darah sistolik meningkat 5mm/Hg dalam lima tahun.
Kenaikan tekanan darah sistolik menunjukkan adanya penurunan penyesuaian arteri. Hubungan antara tekanan darah dan terapi penggantian hormon (HRT) ditemukan yakni mereka yang menggunakan terapi pergantian hormon memiliki tekanan darah yang sedikit lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menggunakan HRT.
Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara hormon yang diproduksi oleh ovarium dengan tekanan darah wanita. Hal ini yang kemudian diteliti sebagai penyebab hipertensi pada wanita menopause.
Penelitian tentang penyakit hipertensi pada wanita menopause dan hubungannya dengan hormon pada wanita ini juga mengungkapkan peranan dan bagaimana hormon dapat mempengaruhi tekanan darah.
Menopause dihubungkan dengan pengurangan pada estradiol dan penurunan perbandingan rasio estrogen dan testosteron. Hal ini mengakibatkan disfungsi endothelial dan menambah BMI yang menyebabkan kenaikan pada aktivasi saraf simpatetik yang kerap kali terjadi pada wanita yang mengalami menopause. Aktivasi saraf simpatetik ini akan mengeluarkan stimulan renin dan angiotensin II.
Disfungsi endhotelial ini akhirnya meningkatkan kesensitifan terhadap garam dan kenaikan endhotelin. Tidak hanya itu, kenaikan angiotensin and endhotelin dapat menyebabkan stres oksidatif yang akhirnya berujung pada hipertensi atau darah tinggi.
Penelitian yang serupa juga mengungkapkan bahwa hormon estrogen bisa membalikkan perkembangan hipertensi. Hanya dengan menambahkan estrogen dosis rendah pada tikus yang hipertensi, hormon ini mampu mencegah perkembangan tekanan darah tinggi menjadi gagal jantung sebelah kanan.
Pencegahan perkembangan tidak terjadi pada tikus yang tidak diberi estrogen. Setelah pemberian estrogen dosis rendah selama 10 hari dihentikan, ternyata perkembangan pencegahan penyakit darah tinggi menjadi penyakit jantung masih berlangsung hingga 12 hari. Apakah tekanan darah meninggi, menurun, atau tetap dengan kaitannya dengan terapi estrogen sangat bergantung pada tiga faktor: jenis estrogen, dosis estrogen, dan bagaimana tekanan darah dimonitor.

2.      PENGGUNAAN OBAT SECARA RASIONAL PADA LANSIA
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).
Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan  farmakokinetik dan farmakodinamik. Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan  farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat yang banyak (polifarmasi),  lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya (inadherence).
Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh lansia. Secara keseluruhan, 80 % dari lansia setiap hari menggunakan paling sedikit satu jenis obat.  Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus.
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit.
Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).

a.      Peresepan Obat Yang Rasional
Menurut World Health Organization (1985) bahwa yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat.
Description:



Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat dan 1 Waspada:
1)      Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. Contohnya misalnya pasien diare yang disebabkan Ameobiasis maka akan diberikan Metronidazol. Jika dalam proses penegakkan diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah Amoebiasis, terapi tidak akan menggunakan metronidazol.
Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, Apoteker mempunyai peran sebagai second opinion untuk pasien yang telah memiliki self-diagnosis.

2)      Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.

3)      Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter. Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit akibat bakteri.

4)      Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.
5)      Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.

6)      Tepat  cara dan lama pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet parasetamol dapat diganti dengan sirup. Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya penggunaan antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama 3-5 hari akan membunuh bakteri patogen yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus tepat.

7)      Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan diare non spesifik yang sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.

8)      Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya pada peresepan Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun urinnya berwarna merah.

9)      Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Contohnya Penggunaan Teofilin menyebabkan jantung berdebar.
Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan dapat menjadi indikator untuk menganalisis rasionalitas dalam penggunaan Obat. Kampanye POR diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja obat dan mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat sehingga menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di dalam meningkatkan mutu pengobatan terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada lansia.
Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :
1)      Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing) : hal ini terjadi karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama.  Termasuk juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang lebih penting.

2)      Meresepkan obat secara berlebihan (over drug  prescribing) : hal ini terjadi jika dosis, lama pemberian, jumlah/jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang diperlukan, termasuk juga disini meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk pengobatan penyakitnya.

3)      Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing) : hal ini terjadi akibat menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara bersamaan.

4)      Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs prescribing/polypharmacy): hal ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau lebih kombinasi obat, sedangkan sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis obat saja, termasuk pula disini berupa pemberian obat terhadap segala gejala dan tanda-tanda yang timbul, tanpa memberikan obat yang dapat mengatasi penyebab utamanya.

5)      Meresepkan obat yang kurang (under drug  prescribing) : hal ini dapat terjadi jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan.

b.      Masalah Dalam Peresepan Obat
Beberapa masalah yang sering timbul dalam peresepan obat pada lansia adalah sebagai berikut :
1)      Farmakokinetik
Yang meliputi penyerapan, distribusi, metabolisme dan pengeluaran obat.
* Penyerapan obat : beberapa hal yang menghambat penyerapan obat pada lansia adalah berkurangnya permukaan lapisan atas usus, berkurangnya gerakan dan aliran darah saluran cerna, berkurangnya keasaman  lambung, dan penyakit-penyakit tertentu. Sebaliknya, akibat berkurangnya gerakan saluran cerna menyebabkan lebih lama obat didapati saluran cerna sehingga absorpsinya lebih banyak. Akibat  hal-hal tersebut di atas ma ka penyerapan obat hanya sedikit terganggu.
* Distribusi obat : dipengaruhi oleh jumlah darah yang dipompakan jantung keseluruh tubuh per menit (curah jantung), kelarutan obat dalam air  atau lemak dan keterikatan obat dengan protein. Akibat bertambahnya usia, curah jantung berkurang yang menyebabkan berkurangnya obat yang terikat dengan reseptor yang terdapat di dalam sel. Demikian juga terjadi perubahan komposisi tubuh (berkurangnya cairan dan bertambahnya lemak tubuh) serta berkurangnya massa otot. Mengenai  kelarutan obat, ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam lemak. Akibat kurangnya cairan tubuh maka obat yang larut dalam air mempunyai volume distribusi yang lebih sedikit, sehingga kadarnya dalam serum meningkat dan takarannya perlu dikurangi. Sebaliknya, obat yang larut dalam lemak, akibat pertambahan lemak tubuh menyebabkan volume distribusi meningkat, sehingga memperpanjang lamanya obat dalam tubuh. Kadar protein (albumin) yang berkurang pada lansia menyebabkan bertambah sedikit obat yang terikat dengan albumin dan bertambah banyak obat dalam bentuk bebas di dalam serum sehingga efek obat meningkat.
*Metabolisme : berkurangnya kecepatan metabolisme pada lansia karena berkurangnya aliran darah ke hati dan fungsi hepatosit serta enzim hati cytochrome P 450.
*Pengeluaran: berkurangnya fungsi ginjal untuk mengeluarkan obat dari tubuh pada lansia disebabkan berkurangnya fungsi glomerulus dan tubulus. Sebagai akibatnya, obat -obat mempunyai durasi yang lebih lama dan kadarnya lebih tinggi di dalam tubuh, sehingga mudah terjadi efek samping dan toksisitas obat.

2)      Farmakodinamik
Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang dikonsumsi  pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor.

3)      Masalah-masalah khusus.
Beberapa masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat pada lansia, yaitu :
a)      Polifarmasi: lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih dari satu jenis (multipatologi), dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah peresepan 5 jenis atau lebih obat, baik obat makan, salep, injeksi, yang digunakan untuk jangka waktu yang lama (480 hari atau lebih dalam 2 tahun). Adapun lansia yang berisiko tinggi menderita penyakit atau masalah kesehatan sebagai akibat penggunaan obat, yaitu : berusia lebih dari 85 tahun, mendapat 9 jenis atau lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6 jenis atau lebih penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi ginjal.  Oleh karena itu, sedapat mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada yang berisiko tinggi.
b)      Takaran obat : akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek untuk menyembuhkan (S!-½ takaran dewasa yang dianjurkan) dan titrasi secara perlahanlahan setiap 7-14 hari sampai tercapai efek penyembuhan yang optimal (start low, go slow, but use enough ). Jika ingin mengganti atau mengkombinasi dengan obat lain hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jenis obat.
c)      Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan obat yang digunakan) didapati hubungan positif antara jumlah obat yang digunakan dan usia dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik.
d)     Ketidakpatuhan  menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang peranan untuk timbulnya efek samping obat. Dalam hal ini, sebaiknya digunakan obat dengan satu kali pemberian per hari. Jika terjadi efek samping obat, sebaiknya obat yang menimbulkan efek samping tadi dihentikan dan jangan ditambahkan obat lain untuk mengatasi efek samping tersebut. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan kepikunan.



BAB III
PENUTUP
1.       
1.1.   Kesimpulan
a.)    Terapi Sulih Hormon (TSH) adalah perawatan medis yang menghilangkan gejala-gejala pada wanita selama dan setelah menopause.
b.)    Menopause adalah berhentinya masa haid pada wanita sehingga kemampuan untuk bereproduksi sudah tiadak ada, hal ini ditandai dengan perubahan hormonal yang nyata pada tubuhnya.
c.)    Penggunaan TSH secara bertahap meningkat sejak tanuh bila riset jangka panjang menunjukkan efek protektif TSH melawan osteoporosis dan penyakit jantung. Memperbaiki waktu pemulihan dan sistem penghantaran pada tubuh menjadikan penggunaan TSH meningkat di USA. Mengurangi resiko kanker endometrial, dokter jauh lebih mungkin memberi dosis lebih rendah estrogen dan dikombinasi dengan progesterone.
d.)   Kenaikan tekanan darah sistolik menunjukkan adanya penurunan penyesuaian arteri. Hubungan antara tekanan darah dan terapi penggantian hormon (HRT) ditemukan yakni mereka yang menggunakan terapi pergantian hormon memiliki tekanan darah yang sedikit lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menggunakan HRT.
e.)    Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan  farmakokinetik dan farmakodinamik.
f.)     Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan  farmakokinetik dan farmakodinamik.

1.2.   Saran
Untuk Bidan
a.)    Bidan diharapkan dapat memberikan asuhan kebidanan pada lansia sesuai dangan kebutuhan dan wewenangnya.
b.)    Bidan diharapkan dapat memahami Terapi Hormone dengan Penyakit Tertentu dan Pemberian Obat secara Rasional pada Lansia.
Untuk Pembaca
a.)    Kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah ini sehingga dapat lebih baik lagi.

b.)    Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar