BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Manakala usia merangkak senja, katakanlah sejak umur 50
tahun, jam biologis lambat laun melemah detaknya, seolah-olah merupakan sinyal
bahwa tingkat kesuburan mulai menurun. Pada perempuan produksi dua jenis hormon
paling berpengaruh dalam proses reproduksi, yaitu estrogen dan progesteron,
secara perlahan tapi pasti mulai berkurang. Itulah pertanda menopause
menjelang.
Menopause atau menopause (karena usia lanjut), sesuatu yang
tidak asing bagi kaum perempuan, tidak jarang menimbulkan perasaan tidak
menentu, takut, dan bingung. Demikian meresahkannya bayangan itu, barangkali
sampai muncul perasaan, menopause janganlah terjadi, kalau mungkin.Menua
(menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006).
Hasil Penelitian di Amerika mengeluarkan suatu data yang
berisi tentang klarifikasi keuntungan dan resiko terapi sulih hormon (TSH)
setelah menopause. Hasil penelitian menemukan bahwa TSH secara nyata dapat
mengurangi resiko kematian, kendatipun demikian hal tersebut baru akan akan
muncul setelah 3 tahun menghentikan TSH. Keuntungan terbesarnya baru akan terasa
setelah satu dekade pemakaian, dimana wanita pengguna TSH 37% lebih rendah
tinggkat resiko kematiannya dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan
TSH, resiko kematian itu umumnya karena penyakit jantung. Meskipun wanita
mengadapi peningkatan 43 persen resiko kanker payudara setelah sepuluh tahun
atau lebih, TSH masih berasosiasi dengan penurunan keseluruhan angka kematian
dari 20 persen. Penelitian menunjukkan bahwa TSH melindungi wanita dari
beberapa penyakit lainnya, menyangsikan kecenderungan dokter merekomendasikan
ini ke semua wanita yang memasuki masa menopause. Wanita dengan satu atau
banyak faktor resiko untuk penyakit jantung, seperti sejarah keluarga atau
kegemukan,lebih bayak keuntungannya, tetapi untuk yang dengan resiko kanker tinggi
dan resiko penyakit jantung rendah, keuntungan mungkinnya tidak sebanding
dengan beratnya lebih resiko.
Terapi hormon menjadi terlihat menakutkan bagi perempuan,
khususnya perempuan paruh baya yang memasuki usia menopause. Padahal harapan
hidup perempuan terus meningkat dibanding harapan hidup laki-laki. Di
Indonesia, angka harapan hidup perempuan melonjak dari 40 tahun pada tahun 1930
menjadi 67 tahun pada tahun 1998, sedang laki-laki dari 38 tahun menjadi 63
tahun dalam kurun waktu sama. Sementara perkiraan umur rata-rata usia menopause
di Indonesia adalah 48 tahun.
Dengan meningkatnya usia harapan
hidup, maka semakin banyak pula perempuan yang mengalami menopause dengan
berbagai keluhannya. Gejala yang ditimbulkan bisa berupa perdarahan yang tidak
biasa, berdebar-debar, rasa gerah dan keringat malam (hot flushes) hingga
radang vagina (vaginitis atrophia), nyeri bila berhubungan seksual dan infeksi
saluran kemih. Bahkan dapat meningkatkan risiko pengeroposan tulang
(osteoporosis), penyakit jantung, serta kemungkinan menderita Alzheimer. Biang
gejala-gejala ini adalah penurunan hormon estrogen pada masa menopause. Menurut
para ahli hormon penurunan mencapai 20 persen dibandingkan dengan pada waktu
sebelum menopaus.
Pemberian
obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa
obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung
membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang
lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping
dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).
Penyakit
pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat
sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus
pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional
dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat
yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius
dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian.
Kejadian
ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya
menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah
hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes
mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan
yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan
badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia
memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).
2.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan
ini adalah untuk :
2.1. Memberikan
pengertian tentang terapi hormone dengan penyakit tertentu dan pemberian obat
secara rasional pada lansia.
2.2. Memberikan
pemahaman hubungan terapi hormone dengan penyakit tertentu dan pemberian obat
secara rasional pada lansia.
3.
Manfaat
Penulisan
Manfaat yang
diharapkan dari penulisan makalah ini adalah untuk :
3.1. Menambah
wawasan dan pengetahuan tentang hubungan terapi hormone dengan penyakit
tertentu dan pemberian obat secara rasional pada lansia.
3.2. Memberikan
tambahan pengetahuan pada pelayan kesehatan tentang hubungan terapi hormone
dengan penyakit tertentu dan pemberian obat secara rasional pada lansia.
4.
Sistematika
Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Membahas tentang asuhan yang telah dilakukan berdasarkan
standar-standar acuan dan teori yang mendukung.
BAB III PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan adalah
resume dari teori serta asuhan yang telah dilakukan dan saran.
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
1.
TERAPI
SULIH HORMON ( TSH )
a.
Pengertian TSH
Terapi
Sulih Hormon (TSH) adalah perawatan medis yang menghilangkan gejala-gejala pada
wanita selama dan setelah menopause. Menopause adalah berhentinya masa haid
pada wanita sehingga kemampuan untuk bereproduksi sudah tiadak ada, hal ini
ditandai dengan perubahan hormonal yang nyata pada tubuhnya. Hal ini juga
menyebabkan menurunnya jumlah hormon estrogen, dimana hormon ini merupakan
hormon yang berhunbungan dengan sistem reproduksi, yang menyebabkan wanita
merasakan gejala tak enak, termasuk panas pada wajah, vaginal kekeringan, sifat
lekas marah, dan depresi. TSH secara parsial mengembalikan keseimbangan estrogen
di tubuh wanita untuk mengurangi atau mengeliminasi gejala ini. THS dapat
meringankan penderitaan tidak hanya pada wanita dewasa yang mengalami menopause
alami, tetapi juga di wanita muda yang mungkin mengalami menopause prematur
untuk alasan medis, seperti kanker atau sebab kelainan ovarium yang berhenti
menghasilkan estrogen.
Sebagai
tambahan dalam mengurangi gejala asosiasi dengan menopause, TSH memiliki banyak
keuntunga dan bahkan proteksi dari penyakit tertentu, termasuk osteoporosis,
penyakit jantung, dan stroke. Studi medis yang sedang berjalan telah
menunjukkanbahwa menggunakan TSH, dalam jangka panjang itu tidak selalu
berguna, dan dalam beberapa peristiwa ini mungkin sebenarnya menaikkan resiko
kanker, serangan jantung, dan penyakit lain.
b.
Penggunaan Terapi Sulih Hormon & Efek yang
Ditimbulkannya
Dimulai
dengan pubertas dan berikut tiga atau empat dasawarsa, tubuh wanita mengalami
siklus hormonal teratur, hal ini memungkinkan wanita dapat hamil dan melahirkan
anak. Estrogen dan hormon lainnya, progesterone, dikeluarkan oleh ovarium
selama ovulasi, sebulan proses di mana telur dilepaskan dari ovarium dan
dipersiapkan untuk fertilization dengan sperma. Estrogen memiliki peranan dalam
hal ini sementara progesterone mempengaruhi lapisan permukaan jaringan vagina
dan rahim, membuat kondisi yang banyak baik bagi ovum untuk dibuahi. Jika
kehamilan tidak terjadi, bagian dari endometrium (bahan pelapis uterus) akan
meluruh melalui vagina selama haid. Sebagai tambahan terhadap peranan dalam
reproduksi, estrogen beredar di aliran darah, mempengaruhi bagian-bagian lain
dari tubuh, termasuk otak, pembuluh darah, tulang, dan sel-sel lemak.
Pada
menopause, yang dialami oleh wanita pada usia 40-an atau awal 50-an, secara
berangsur-angsur ovarie berhenti menghasilkan estrogen, menyebabkan penurunan
tingkat estrogen di dalam darah. Setelah lewat beberapa tahun, estrogen ini
tidak lagi diproduksi yang menyebabkan berbagai, perubahan dalam organ tubuh
termasuk vagina, rahim, kandung kemih, saluran kemih, payudara, tulang, hati,
pembuluh darah, dan otak.
Pada
beberapa wanita, perubahan ini memicu efek samping tak enak. Gejala yang biasa
berasosiasi dengan menopause termasuk flush. Tahap ini bisa terjadi beberapa
menit, bahkan secara mendadak akan terasa sangat panas di muka dan bagian tubuh
atas, beserta keringat yang bercucuran.
Palpasi
pada jantung dan perasaan lemas dapat juga terjadi. Flashe diakibatkan oleh
hilangnya estrogen pada sistem signaling hormon dari otak yang dikenal sebagai
hypothalamu, yang terletak di daerah sistem pengatur suhu tubuh.
Gejala
lainnya menopause yang mempengaruhi wanita meliputi perubahan pada bahan
pelapis dan elastisitas vagina. Vagina mungkin mengerut dan menjadi cenderung
akan kekeringan, mendorong ke arah sakit selama hubungan seksual. Sejumlah
perubahan perasaan emosional dan kejiwaan terjadi selama menopause tersebut,
pada beberapa wanita biasa berakibat hilangnya siklus tidur, hilangnya libido,
sebagian kehilangan ingatan dan depresi.
Penurunan
tingkat estrogen pada wanita menopause merupakan hal yang menarik bagi dokter
dan pasien selama bertahun-tahun. Estrogen sintesis telah dikembangkan sejak
1920 samapi pertengahan 1930 yang bertujuan untuk menghilnagkan gejala-gejala
menopause. Pada pertengahan tahun 1960 buku ‘feminin forever’ menggunakan
estrogen buatan sebagai cara untuk tetap menjadi awet muda dan cantik.
Penggunaan TSH mengurangi secara drastic hubungan diantara penggunaan dari
estrogen buatan dan resiko tinggi kanker endometrial di tahun 1970.
Penggunaan
TSH secara bertahap meningkat sejak tanuh bila riset jangka panjang menunjukkan
efek protektif TSH melawan osteoporosis dan penyakit jantung. Memperbaiki waktu
pemulihan dan sistem penghantaran pada tubuh menjadikan penggunaan TSH
meningkat di USA. Mengurangi resiko kanker endometrial, dokter jauh lebih
mungkin memberi dosis lebih rendah estrogen dan dikombinasi dengan
progesterone.
Selanjutnya,
banyak perbedaan formulasi dan dosis yang sekarang diizinkan dokter ke tiap
pasien lebih baik agar TSH dapat berjalan optimal. Meskipun kita ketahui lebih
banyak TSH pada hari ini masih diliputi oleh kontroversi anatara resiko dan
keuntungannya.
Bagi
wanita yang menggunakan TSH sering terjadi peningkatan resiko kanker
endometrial dan kanker payudara sehubungan dengan penggunaan estrogen,
terkhusus untuk memperpanjang waktu penggunaan, akan menimbulkan efek samping
seperti mual, pendarahan tak dapat diramalkan, bloating, dan fluktuasi keadaan
pikiran. Suatu alasan bagi yang mengguankan TSH menyatakan bahwa hal itu tidak
hanya meringankan gejala menopause tapi juga mengurangi resiko osteoporosis,
penyakit jantung dan alzheimer. Penyakit tersebut lebih banyak resikonya
dibandingkan dengan kanker pada sehat wanita di masa postmenopausal. Sampai
lebih banyak informasi efek tentang TSH hubungannya dengan penyakit, setiap
wanita harus membantu dokternya, menimbang resiko dan keuntungan-keuntungan
penggunaannya. Bagaimanapun penggunaan TSH pada wanita tergantung pada banyak
faktor, termasuk bagaimana dia melihat resiko dan keuntungan-keuntungan TSH
dibandingkan dengan potensi resiko yang akan dihadapinya serta berbagai macam
penyakit yang kemungkinan timbul selama pengobatan.
Diakhir
1960 dan awal 1970, ketika terapi estrogen pertama kali meluas diberi kepada
wanita menopause, dokter memperingatkan akan adanya kemungkinan bertambahnya
kasus kanker endometrium. Peresepan untuk estrogen kemudian menjadi sangat
menurun, sampai ditemukannya metode untuk menggabungkan progesterone dengan
estrogen. Progesterone sebagai bagian dari siklus mentruasi secara alami
menetralkan efek estrogen di endometrium.
Bagi
wanita yang memilih terapi ini, TSH digunakan dalam pola yang berbeda dengan
hanya menggunakan estrogen saja, biasanya itu digunakan bagi waniya yang telah
melakukan histerektomi ( pemindahan berkenaan dengan pembedahan rahim dan
ovarium). Bermacam-macam jenis dan takaran estrogen dapat diberikan dalam wujud
pil harian atau pil. Penggunaan yang umum berupa pil estrogen konjugasi yang
dicampur air kencing kuda yang hamil. Estrogen juga dapat diberikan sebagai
patch transdermal yang ditancapkan dikulit dan diganti setiap beberapa hari;
patch ini berfungsi untuk terus mengeluarkan estrogen ke aliran darah.
Saat
ini dokter biasa menetapkan jenis TSH yang merupakan kombinasi estrogen dan
progesterone sintetis, yang dikenal sebagai progestin. Kedua hormon mungkin
pemberiannya dalam tahapan-tahapan tertentu, dengan memberikan estrogen setiap
hari dan ditambahkan progestin pada selama 12 hari dalam sebulan. Estrogen dan
progestin juga biasa diberikan dalam wujud pil gabungan yang diminun setiap
hari. Kira-kira 90 persen wanita dengan rahim yang utuh kembali mengalami
menstruasi selama terapi n gabungan estrogen dan progestin. Inilah yang juga
menjadi alasan wanita menggunakan TSH.
c.
Berikut ini beberapa risiko akibat terapi hormonal, sebagian
sudah dikonfirmasi oleh data klinis, sedangkan beberapa data masih menjadi
kontroversi di kalangan akademisi
1) Kanker
payudara
Data
penelitian tentang benar-tidaknya terapi hormonal menggunakan preparat estrogen
dapat menyebabkan kanker payudara masih kontroversial. Risiko kanker payudara
meningkat secara signifikan jika penggunaan terapi sulih hormon dilakukan dalam
waktu lama. Para peneliti sangat yakin, risiko kanker payudara semakin besar
jika terapi sulih hormon (dengan estrogen) berlangsung lebih dari 10 tahun.
Anda yang hendak memilih terapi hormonal dengan preparat estrogen disarankan
untuk mendiskusikannya secara intensif dengan dokter.
2) Kanker
Rahim
Penelitian-penelitian
klinis pada saat ini sudah mencapai konfirmasi bahwa terapi hormonal dengan
preparat estrogen saja dapat menyebabkan kanker rahim. Risiko ini dapat
diperkecil dengan memberikan hormon progesteron selama 12 hari setiap siklus
menstruasi.
3) Problem Kantung Empedu
Problem
ini banyak dijumpai pada perempuan yang menggunakan terapi hormonal dalam
jangka panjang.
4) Tekanan Darah Tinggi
Estrogen
dahulu diduga dapat menyebabkan naiknya tekanan darah pada sebagian pemakai
terapi sulih hormon. Penelitian terkini menyimpulkan, pada dasarnya terapi ini
tidak menyebabkan naiknya tekanan darah, sehingga aman bagi wanita penderita
tekanan darah tinggi, asalkan tekanan darahnya dipantau secara saksama.
Selain
berbagai risiko tadi, efek samping terapi sulih hormon juga sering menimbulkan
keraguan. Sebagaimana layaknya prinsip kerja suatu obat, obat apa pun punya
efek sampingan, tak terkecuali terapi sulih hormon. Banyak wanita yang
menderita efek sampingan tidak mengenakkan, tetapi tidak sedikit juga yang
mengalami efek yang menguntungkan. Efek yang tak dikehendaki diatasi dengan
mengubah dosis. Bagi yang tubuhnya tak mampu mengatasi efek sampingan yang
merugikan, ada baiknya penggunaan terapi sulih hormon dihentikan saja.
Jika
sediaan progesteron digunakan bersama dengan sediaan estrogen, sebagian besar
akan mengalami perdarahan bulanan sebagaimana layaknya siklus menstruasi. Efek
sampingan yang mungkin dialami para wanita pengguna terapi hormon di antaranya
mual, payudara menjadi lebih besar dan lebih lembut, puting payudara berdiri,
dan menjadi lebih gemuk. Efek itu mungkin akan semakin berkurang seiring dengan
lamanya masa terapi. Sedangkan efek sampingan yang agak jarang dijumpai, antara
lain kekurangan dorongan untuk berhubungan intim, depresi, perdarahan di
tengah-tengah siklus menstruasi, sakit pada dada dan persendian (kaki). Jika
mengalami efek sampingan seperti itu, segeralah memeriksakan diri ke dokter.
Setiap
perempuan secara alami mempunyai kadar hormon estrogen tinggi dalam darahnya,
ada pula yang rendah. Pemeriksaan kadar hormon dapat mendeteksi masalah ini.
Bila memasuki masa menopause kelak Anda termasuk memiliki kadar hormon estrogen
tinggi, Anda tidak memerlukan terapi sulih hormon. Demikian pula bila dijumpai
benjolan-benjolan yang belum terdiagnosis pada payudara dan mempunyai riwayat
kanker payudara, kanker rahim, kelainan hati, dan kelainan penggumpalan darah.
d.
Hubungan Penyakit Hipertensi saat Menopause Dengan Terapi Sulih
Hormon (TSH)
Gender
memainkan peran yang penting terhadap tekanan darah. Wanita pre-menopause
memiliki tekanan darah yang lebih rendah daripada pria dengan usia yang sama. Dibandingkan
dengan wanita pre-menopause, wanita menopause memiliki tekanan darah yang lebih
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hormon pada ovarium dapat memodulasi tekanan
darah. Dilaporkan bahwa kedua tekanan darah yakni sistolik dan diastolik
berkaitan erat dengan usia menopause, BMI (Body Mass Index), terapi
perubahan hormon, dan denyut nadi.
Untuk
mengetahui lebih lanjut hubungan antara menopause dengan hipertensi ada
penelitian yang dilakukan oleh Megan Coylewright dan koleganya. Hasil
penelitian menemukan bahwa wanita dalam masa menopause lebih tinggi tekanan
darahnya ketimbang wanita pre-menopause.
Wanita
dalam masa menopause ditemukan memiliki tekanan darah sistolik lebih besar
daripada pria dengan BMI dan umur yang sama. Sedangkan tekanan darah sistolik
meningkat 5mm/Hg dalam lima tahun.
Kenaikan
tekanan darah sistolik menunjukkan adanya penurunan penyesuaian arteri.
Hubungan antara tekanan darah dan terapi penggantian hormon (HRT) ditemukan
yakni mereka yang menggunakan terapi pergantian hormon memiliki tekanan darah
yang sedikit lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menggunakan HRT.
Sekali
lagi, ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara hormon yang diproduksi oleh
ovarium dengan tekanan darah wanita. Hal ini yang kemudian diteliti sebagai
penyebab hipertensi pada wanita menopause.
Penelitian
tentang penyakit hipertensi pada wanita menopause dan hubungannya dengan hormon
pada wanita ini juga mengungkapkan peranan dan bagaimana hormon dapat
mempengaruhi tekanan darah.
Menopause
dihubungkan dengan pengurangan pada estradiol dan penurunan perbandingan rasio
estrogen dan testosteron. Hal ini mengakibatkan disfungsi endothelial dan
menambah BMI yang menyebabkan kenaikan pada aktivasi saraf simpatetik yang
kerap kali terjadi pada wanita yang mengalami menopause. Aktivasi saraf
simpatetik ini akan mengeluarkan stimulan renin dan angiotensin II.
Disfungsi
endhotelial ini akhirnya meningkatkan kesensitifan terhadap garam dan kenaikan
endhotelin. Tidak hanya itu, kenaikan angiotensin and endhotelin dapat
menyebabkan stres oksidatif yang akhirnya berujung pada hipertensi atau darah
tinggi.
Penelitian
yang serupa juga mengungkapkan bahwa hormon estrogen bisa membalikkan
perkembangan hipertensi. Hanya dengan menambahkan estrogen dosis rendah pada
tikus yang hipertensi, hormon ini mampu mencegah perkembangan tekanan darah
tinggi menjadi gagal jantung sebelah kanan.
Pencegahan
perkembangan tidak terjadi pada tikus yang tidak diberi estrogen. Setelah
pemberian estrogen dosis rendah selama 10 hari dihentikan, ternyata
perkembangan pencegahan penyakit darah tinggi menjadi penyakit jantung masih
berlangsung hingga 12 hari. Apakah tekanan darah meninggi, menurun, atau tetap
dengan kaitannya dengan terapi estrogen sangat bergantung pada tiga faktor:
jenis estrogen, dosis estrogen, dan bagaimana tekanan darah dimonitor.
2. PENGGUNAAN OBAT SECARA RASIONAL PADA LANSIA
Pemberian
obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa
obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung
membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang
lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping
dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).
Peresepan
obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting,
karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik. Peresepan obat pada lanjut usia (lansia)
merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan
menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik.
Pemakaian obat yang banyak (polifarmasi), lebih sering terjadi efek
samping, interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering
terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan
berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan
pemakaiannya (inadherence).
Dari
data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari semua
peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh lansia.
Secara keseluruhan, 80 % dari lansia setiap hari menggunakan paling sedikit
satu jenis obat. Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka masalah
peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu diperhatikan
atau perlu mendapat perhatian khusus.
Penyakit
pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat
sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus
pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional
dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat
yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius
dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih sering
terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih
dari satu penyakit.
Penyakit
utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta
gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati.
Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan
fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan
ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah,
1994).
a. Peresepan Obat Yang
Rasional
Menurut World Health Organization (1985)
bahwa yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita
yang mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama
pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah
mungkin yang dikeluarkan pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat.
Berikut ini adalah penjabaran dari
Indikator Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat dan 1 Waspada:
1)
Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan
penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam
sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan
tergantung pada diagnosis penyakit pasien. Contohnya misalnya pasien diare yang
disebabkan Ameobiasis maka akan diberikan Metronidazol. Jika dalam proses
penegakkan diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah Amoebiasis, terapi
tidak akan menggunakan metronidazol.
Pada pengobatan oleh tenaga
kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja dokter. Sedangkan pada swamedikasi
oleh pasien, Apoteker mempunyai peran sebagai second opinion untuk pasien yang
telah memiliki self-diagnosis.
2)
Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat
maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat
ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan
diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat
juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan
digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.
3)
Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan
indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter. Misalnya Antibiotik hanya diberikan
kepada pasien yang terbukti terkena penyakit akibat bakteri.
4)
Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien
mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya
penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi
khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam
pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien
dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus
dihindari.
5)
Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus
sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik
maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek
terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia,
bobot badan, maupun kelainan tertentu.
6)
Tepat cara dan lama pemberian
Cara pemberian yang tepat harus
mempertimbangkan mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga
akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat. Misalnya pasien
anak yang tidak mampu menelan tablet parasetamol dapat diganti dengan sirup. Lama
pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai karakteristik
obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam
darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya penggunaan antibiotika
Amoxicillin 500 mg dalam penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama 3-5
hari akan membunuh bakteri patogen yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak
terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus tepat.
7)
Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang
jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat
merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang
mahal. Contoh Pemberian antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan diare non
spesifik yang sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta
dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.
8)
Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat
yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan
pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya pada peresepan Rifampisin harus
diberi informasi bahwa urin dapat berubah menjadi berwarna merah sehingga
pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun urinnya berwarna merah.
9)
Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan
efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat
dengan dosis terapi. Contohnya Penggunaan Teofilin menyebabkan jantung
berdebar.
Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada
diharapkan dapat menjadi indikator untuk menganalisis rasionalitas dalam
penggunaan Obat. Kampanye POR diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi belanja obat dan mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat
dengan harga terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan obat yang
tidak tepat sehingga menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan.
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, maka di dalam meningkatkan mutu pengobatan
terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan peresepan
obat yang tidak rasional pada lansia.
Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk
peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :
1)
Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing)
: hal ini terjadi karena meresepkan obat
yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain yang lebih murah dengan
manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama. Termasuk juga disini
berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda
tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang lebih penting.
2)
Meresepkan obat secara berlebihan (over drug
prescribing) : hal ini terjadi jika dosis, lama
pemberian, jumlah/jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang diperlukan,
termasuk juga disini meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan
untuk pengobatan penyakitnya.
3)
Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing) :
hal ini terjadi akibat menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan
indikasi, pemakaian obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita
pasien secara bersamaan.
4)
Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs
prescribing/polypharmacy): hal ini dapat terjadi
pada pemberian dua jenis atau lebih kombinasi obat, sedangkan sebenarnya cukup
hanya diperlukan satu jenis obat saja, termasuk pula disini berupa pemberian
obat terhadap segala gejala dan tanda-tanda yang timbul, tanpa memberikan obat
yang dapat mengatasi penyebab utamanya.
5)
Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing) :
hal ini dapat terjadi jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan,
dosis obat yang diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat
dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan.
b.
Masalah
Dalam Peresepan Obat
Beberapa masalah yang sering timbul
dalam peresepan obat pada lansia adalah sebagai berikut :
1)
Farmakokinetik
Yang meliputi penyerapan, distribusi, metabolisme dan pengeluaran obat.
Yang meliputi penyerapan, distribusi, metabolisme dan pengeluaran obat.
* Penyerapan obat :
beberapa hal yang menghambat penyerapan obat pada lansia adalah berkurangnya
permukaan lapisan atas usus, berkurangnya gerakan dan aliran darah saluran
cerna, berkurangnya keasaman lambung, dan penyakit-penyakit tertentu.
Sebaliknya, akibat berkurangnya gerakan saluran cerna menyebabkan lebih lama
obat didapati saluran cerna sehingga absorpsinya lebih banyak. Akibat
hal-hal tersebut di atas ma ka penyerapan obat hanya sedikit terganggu.
* Distribusi obat :
dipengaruhi oleh jumlah darah yang dipompakan jantung keseluruh tubuh per menit
(curah jantung), kelarutan obat dalam air atau lemak dan keterikatan obat
dengan protein. Akibat bertambahnya usia, curah jantung berkurang yang
menyebabkan berkurangnya obat yang terikat dengan reseptor yang terdapat di
dalam sel. Demikian juga terjadi perubahan komposisi tubuh (berkurangnya cairan
dan bertambahnya lemak tubuh) serta berkurangnya massa otot. Mengenai
kelarutan obat, ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam lemak. Akibat
kurangnya cairan tubuh maka obat yang larut dalam air mempunyai volume
distribusi yang lebih sedikit, sehingga kadarnya dalam serum meningkat dan
takarannya perlu dikurangi. Sebaliknya, obat yang larut dalam lemak, akibat
pertambahan lemak tubuh menyebabkan volume distribusi meningkat, sehingga
memperpanjang lamanya obat dalam tubuh. Kadar protein (albumin) yang berkurang
pada lansia menyebabkan bertambah sedikit obat yang terikat dengan albumin dan
bertambah banyak obat dalam bentuk bebas di dalam serum sehingga efek obat
meningkat.
*Metabolisme :
berkurangnya kecepatan metabolisme pada lansia karena berkurangnya aliran darah
ke hati dan fungsi hepatosit serta enzim hati cytochrome P 450.
*Pengeluaran: berkurangnya
fungsi ginjal untuk mengeluarkan obat dari tubuh pada lansia disebabkan
berkurangnya fungsi glomerulus dan tubulus. Sebagai akibatnya, obat -obat
mempunyai durasi yang lebih lama dan kadarnya lebih tinggi di dalam tubuh,
sehingga mudah terjadi efek samping dan toksisitas obat.
2)
Farmakodinamik
Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor.
Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor.
3)
Masalah-masalah khusus.
Beberapa
masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat pada lansia, yaitu :
a)
Polifarmasi: lansia
cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih dari satu jenis
(multipatologi), dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah peresepan 5
jenis atau lebih obat, baik obat makan, salep, injeksi, yang digunakan untuk
jangka waktu yang lama (480 hari atau lebih dalam 2 tahun). Adapun lansia yang
berisiko tinggi menderita penyakit atau masalah kesehatan sebagai akibat
penggunaan obat, yaitu : berusia lebih dari 85 tahun, mendapat 9 jenis atau
lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6 jenis atau lebih
penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi ginjal. Oleh
karena itu, sedapat mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada yang
berisiko tinggi.
b)
Takaran obat : akibat perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka takaran obat perlu diberikan
serendah mungkin yang masih mempunyai efek untuk menyembuhkan (S!-½ takaran
dewasa yang dianjurkan) dan titrasi secara perlahanlahan setiap 7-14 hari
sampai tercapai efek penyembuhan yang optimal (start low, go slow, but use
enough ). Jika ingin mengganti atau mengkombinasi dengan obat lain hendaknya
dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jenis obat.
c)
Efek samping, interaksi,
toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan obat yang
digunakan) didapati hubungan positif antara jumlah obat yang digunakan dan usia
dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit
iatrogenik.
d)
Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan
pemakaian, memegang peranan untuk timbulnya
efek samping obat. Dalam hal ini, sebaiknya digunakan obat dengan satu kali
pemberian per hari. Jika terjadi efek samping obat, sebaiknya obat yang
menimbulkan efek samping tadi dihentikan dan jangan ditambahkan obat lain untuk
mengatasi efek samping tersebut. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan
pemakaian menjadi meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan
kepikunan.
BAB III
PENUTUP
1.
1.1.
Kesimpulan
a.)
Terapi Sulih Hormon (TSH) adalah perawatan medis yang
menghilangkan gejala-gejala pada wanita selama dan setelah menopause.
b.)
Menopause adalah berhentinya masa haid pada wanita sehingga
kemampuan untuk bereproduksi sudah tiadak ada, hal ini ditandai dengan
perubahan hormonal yang nyata pada tubuhnya.
c.)
Penggunaan TSH secara bertahap meningkat sejak tanuh bila
riset jangka panjang menunjukkan efek protektif TSH melawan osteoporosis dan
penyakit jantung. Memperbaiki waktu pemulihan dan sistem penghantaran pada
tubuh menjadikan penggunaan TSH meningkat di USA. Mengurangi resiko kanker
endometrial, dokter jauh lebih mungkin memberi dosis lebih rendah estrogen dan
dikombinasi dengan progesterone.
d.)
Kenaikan tekanan darah sistolik menunjukkan adanya penurunan
penyesuaian arteri. Hubungan antara tekanan darah dan terapi penggantian hormon
(HRT) ditemukan yakni mereka yang menggunakan terapi pergantian hormon memiliki
tekanan darah yang sedikit lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak
menggunakan HRT.
e.)
Peresepan obat pada
lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan
bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik.
f.)
Peresepan obat pada
lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan
bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik.
1.2.
Saran
Untuk
Bidan
a.)
Bidan diharapkan
dapat memberikan asuhan kebidanan pada lansia
sesuai dangan kebutuhan dan wewenangnya.
b.)
Bidan diharapkan
dapat memahami Terapi Hormone dengan Penyakit
Tertentu dan Pemberian Obat secara Rasional pada Lansia.
Untuk Pembaca
a.)
Kritik dan saran
yang bersifat membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah ini sehingga
dapat lebih baik lagi.
b.)
Semoga makalah ini
bisa memberikan manfaat bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar