BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Psikogeriatri atau psikiatri geriatri
adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan,diagnosisi,dan
terapi gangguan fisik dan psikologik atau psikiatrik pada lanjut usia .Saat ini
disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatri,analog dengan
psikiatri anak.Diagnosisi dan terapi gangguan mental pada lanjut usia
memerlukan pengetahuan khusus,karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi
klinis,patogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara patogenesis dewasa
muda dan lanjut usia.Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga perlu
dipertimbangkan,antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis
penyerta,pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan
terhadap gangguan kognitif.
Sehubungan dengan meningkatnya
populasi usia lanjut (lihat tulisan mengenai demografi di bagian lain buku
ini),perlu mulai dipertimbangkan adanya pelayanan psikogeriatri di rumah sakit
yang cukup besar .Bangsal akut,kronis dan day hospital,merupakan tiga
layanan yang mungkin harus sudah,merupakan tiga layanan yang mungkin harus
sudah mulai difikirkan.Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatri
dan geriatri dapat dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada
usia lanjut.
Proses menua (aging) adalah proses
alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial
yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus
pada lansia.
Masalah kesehatan jiwa lansia
termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri
dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang
mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis,
psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6)
B.
TUJUAN
a.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara umum
pengertian dan penanganan dari Psikogeriatri
pada lansia.
b.
Tujuan Khusus
§
Unutk mengetahui apa yg di maksud
dengan psikogriatri pada lansia
§
Untuk mengetahui bahaya dari
psikogriatri pada lansia
§
Untuk mengetahui cara penanganan
psikogriatri pada lansia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Psikogeriatri Adalah
sebuah
model somatopsychic dipahami secara luas dan psikosomatic patologi. Sebagai
contoh , stroke mungkin endapan depresi. Isolasi sosial dapat berdampak
berkontribusi gizi atau kecanduan alcohol, sehingga berdampak pada kondisi
mental. Demensia dapat menyebabkan perawatan gigi yang buruk dan masalah gigi
yang signifikan. Psikogeriatri mencangkup pencegahan, diagnosis, perawatan dan
rehabilitasi. Koordinasi pengobatan dan rehabilitasi terlalu sering diabaikan.
Namun langkah-langkah rehabilitatif merupakan bagian integral dari
psikogeriatri.
Psikogeriatri menekankan multidisipliner dan interdisipliner dan terutama tidak hanya dalam pelayanan tetapi juga dalam pendidikan dan penelitian. Interdisipliner intedigitates keterampilan dan usaha professional diberbagai bidang untuk membangun sebuah usaha sinergis dimana total lebih daripada jumlah bagian-bagiannya.
Geriatri adalah cabang ilmu
kedokteran yang mempelajari masalah kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek
promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai
kehidupan lansia.
Sementara
Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah
kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif
dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
B. Ada
4 ciri yang dpt dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu
:
a. Keterbatasan fungsi tubuh yang
berhubungan dengan makin meningkatnya usia
b. Adanya akumulasi dari
penyakit-penyakit degenerative
c. Lanjut usia secara psikososial yang
dinyatakan krisis bila :
ü Ketergantungan pada orang lain
(sangat memerlukan pelayanan orang lain)
ü Mengisolasi diri atau menarik diri
dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya setelah
menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian
pasangan hidup dan lain-lain.
d. Hal-hal yang dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan
(deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak,
misalnya bingung, panik, depresif, apatis dsb.
Hal itu biasanya bersumber dari
munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan
hidup, kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan penegak hukum,
atau trauma psikis.
C.
Ada beberapa faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah
disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka
dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat
mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
a.
Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia
umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda
(multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat
ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,
psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat
tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau
tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik,
misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
b.
Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual
pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti
:
§ Gangguan jantung
§ Gangguan metabolisme, misal diabetes
mellitus
§ Vaginitis
§ Baru selesai operasi : misalnya
prostatektomi
§ Kekurangan gizi, karena pencernaan
kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
§ Penggunaan obat-obat tertentu,
seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.
Faktor
psikologis yang menyertai lansia antara lain :
·
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia
·
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
·
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
·
Pasangan hidup telah meninggal.
·
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
c.
Perubahan Aspek Psikososial
Pada
umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif)
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan,
tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan
adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa
perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia
sebagai berikut:
1. Tipe Kepribadian Konstruktif
(Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak,
tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe Kepribadian Mandiri
(Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power
sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat
memberikan otonomi pada dirinya.
3. Tipe Kepribadian Tergantung
(Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan
keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia
tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan
akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4. Tipe Kepribadian Bermusuhan
(Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa
tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi
morat-marit.
5. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self
Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena
perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah
dirinya.
d.
Perubahan yang Berkaitan Dengan
Pekerjaan
Pada
umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan,
status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih
tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point
tiga di atas.
Bagaimana
menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya
sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang
memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun
(pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi
masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan
diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar
pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang
benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan
hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.
Persiapan
tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi
masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk
menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif.
Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat
dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing.
Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak
jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat
praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada
lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada
alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga
lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna,
menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.
e.
Perubahan Dalam Peran Sosial di
Masyarakat
Akibat
berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya
maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya
badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah
dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan
masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan.
Karena jika keterasingan terjadi
akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus
muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan
barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang
lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam
menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki
keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena
anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat
umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan.
Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup
membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya
sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi
terlantar.
Disinilah pentingnya adanya Panti
Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping
sebagai long stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat.
Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan
kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada
hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia.
D. Pemeriksaan Psikiatrik pada usia
lanjut
Penggalian riwayat psikiatrik dan
pemeriksaan status mental pada penderita usi lanjut harus mengikuti format yang
sama dengan yang berlaku pada dewasa muda .Karena tingginya prevalensi gangguan
kognitif pada usi lanjut,dokter/calon dokter harus menentukan apakah penderita
mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan .Jika penderita mengalami gangguan
kognitif,riwayat pra-morbid dan riwayat sakit harus didapatkan dari anggota
keluarga atau mereka yang merawatnya.Namun,penderita juga tetap harus diperiksa
tersendiri(walaupun terlihat adanya gangguan yang jelas)untuk mempertahankan
privasi hubungan dokter dan penderita dan untuk menggali adakah pikiran bunuh
diri atau gagasan paranoid dari penderita yang mungkin tidak diungkapkan dengan
kehadiran sanak saudara atau seorang perawat.
1.
Riwayat psikiatrik
Bisa didapatkan dari alo- atau oto-
amamnesis. Riwayat psikiatrik lengkap termasuk identifikasi awal (nama, usia,
jenis kelamin, status perkawinan), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu (termasuk gangguan fisik yang pernah diderita), riwayat
pribadi dan riwayat keluarga, pemakaian obat yang sedang atau pernah digunakan.
Penderita yang berusia 65 keatas
sering memiliki keluhan subyektif adanya gangguan daya ingat yang ringan,
seperti tidak dapat mengingat kembali nama orang atau keliru meletakkan benda.
Gangguan daya ingat yang berhubungan dengan usia tersebut perlu dibedakan
dengan kecemasan pada saat dilakukan pemeriksaan. Riwayat medis harus meliputi
semua penyakit berat, kehilangan kesadaran, nyeri kepala, masalah pendengaran
dan penglihatan , serta riwayat penggunaan alkohol.
Riwayat kanak-kanak, remaja, dan
dewasa penderita dapat memberikan informasi tentang kepribadian pramorbidnya
dan memberikan petunjuk penting tentang strategi cara dan mekanisme pertahanan
jiwa yang mungkin digunakan oleh penderita usia lanjut tersebut dalam keadaan
stress. Dan juga perlu dicari riwayat ketidakmampuan belajar atau adanya
disfungsi serebral.
Riwayat kanak – kanak , remaja dan
dewasa dari penderita dapat memberikan informasi tentang kepribadian
pramorbidnya dan memberikan petunjuk penting tentang strategi cara dan
mekanisme pertahanan jiwa yang mungkin digunakan oleh penderita usia lanjut
tersebut dalam keadaan stress. Riwayat ketidak mampuan belajar atau adanya
disfungsi sereblar minimal perlu dicari karena mempunyai arti yang bermakna.
Hubungan dengan teman-teman ,
olahraga , hobi , aktivitas khusus dan pekerjaan juga perlu ditanyakan secara
rinci. Riwayat pekerja harus termasuk perasaan penderita tentang pekerjaannya,
hubungan dengan teman sekerja, masalah dengan atasan, riwayat ganti-ganti
pekerjaan dan sikap terhadap pensiun. Kepada penderita juga harus ditanyakan
tentang rencana masa depan. Apa harapan dan kecemasan/katakutan penderita. (Gunandi,
1984).
Riwayat keluarga harus termasuk
penjelasan tentang sikap orang tua penderita dan adaptasi terhadap ketuaan
mereka. Jika mungkin informasi tentang kamatian orang tua, riwayat gangguan
jiwa dalam keluarga. Situasi sosial penderita sekarang harus dinilai. Siapa
yang merawat penderita, apakah penderita mempunyai anak. Bagaimana
karakteristik hubungan orangtua-anak. Riwayat sosial ekonomi dipakai untuk
menilai peran ekonomi dalam mengelolah penyakit penderita dan membuat anjuran
terapi yang realistik (Gunandi , 1982).
Riwayat perkawinan, termasuk
penjelasan tentang pasangan hidup dan karakteristik hubungan. Jika penderita
adalah janda atau duda, harus digali bagaimana rasa duka citanya dulu saat
ditinggal mati oleh pasangannya. Jika kehilangan pasangan hidup terjadi dalam
satu tahun terakhir, penderita dalam keadaan resiko tinggi mengalami peristiwa
fisik atau psikologik yang merugikan.
Riwayat seksual penderita termasuk
aktivitas seksual, orientasi libido, masturbasi, hubungan gelap diluar
perkawinan dan gejala disfungsi seksual.
2.
Pemeriksaan status mental
Pemeriksaan
status mental meliputi bagaimana penderita berpikir (proses pikir), merasakan
dan bertingkah laku selama pemeriksaan. Keadan umum penderita adalah termasuk
penampilan, aktivitas psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktivitas
bicara.
Gangguan motorik, antara lain gaya
berjalan menyeret, posisi tubuh membungkuk, gerakan jari seperti memilin pil,
tremor dan asimetri tubuh perlu dicatat. Banyak penderita depresi mungkin
lambat dalam berbicara dan gerakannya. Wajah seperti topeng terdapat pada
penderita penyakit Parkinson Bicara penderita dalam keadaan teragitasi dan
cemas mungkin tertekan. Keluar air mata dan menangis ditemukan dalam gangguan
depresi dan gangguan kognitif, terutama jika penderita merasa frustasi karena
tidak mampu menjawab pertanyaan pemeriksa. Adanya alat bantu dengar atau
indikasi lain bahwa penderita menderita gangguan pendengaran, misalnya selalu
minta pertanyaan diulang, harus dicatat (Gunandi, 1984).
Sikap penderita pada pemeriksa untuk
berkerjasama, curiga, bertahan dan tak berterimakasih dapat memberi petunjuk
tentang kemungkinan, adanya reaksi transferensi. Penderita lanjut usia dapat
bereaksi pada dokter muda seolah-olah dokter adalah seorang tokoh yang lebih
tua, tidak peduli terhadap adanya perbedaan usia.
Penilaian fungsi, Penderita lanjut usia harus
diperiksa tentang kemampuan mereka untuk mempertahankan kemandirian dan untuk
melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Aktifitas tersebut adalah
termasuk ke toilet, menyiapkan makanan , barpakaian, berdandan dan makan.
Derajat kemampuan fungsional dalam perilaku sehari-hari adalah suatu
pertimbangan penting dalam menyusun rencana terapi selanjutnya.
Mood,
perasaan dan afek, Di Negara lain, bunuh diri adalah salah satu penyebab utama
kematian pada golongan usia lanjut. Oleh karenanya pemeriksaan ide bunuh diri
pada penderita lanjut usia sangat penting. Perasaan kesepian, tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya adalah gejala depresi . Kesepian merupakan alasan
yang paling sering dinyatakan oleh para lanjut usia yang ingin bunuh diri.
Depresi merupakan resiko yang tinggi untuk bunuh diri ( Gunandi, 1984).
Pemeriksa harus secara spesifik menanyakan tentang adanya pikiran bunuh diri,
apakah penderita merasa kehidupannya tidak berharga lagi, apakah ia merasa
lebih baik mati atau jika mati tidak membebani orang lain.
Gangguan persepsi, Halusinasi dan ilusi pada lanjut
usia merupakan fenomena yang disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik.
Pemeriksa harus mencatat apakah penderita mengalami kebingungan terhadap waktu
atau tempat selama episode halusinasi. Adanya kebingungan menyatakan suatu
kondisi organik. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak dan patologi fokal
yang lain. Pemeriksaan yang lebih lanjut diperlukan untuk menentukan diagnosa
pasti.
Fungsi visuospasial, Suatu penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan
lanjutnya usia.meminta penderita untuk mencontoh gambar atau menggambar.
Pemeriksaan neuropsikologis harus dilaksanakan jika fungsi visuospasial sangat
terganggu.
Proses berfikir, Gangguan pada progresi pikiran
adalah neologisme, gado-gado kata, sirkumstansialitas, asosiasi longgar,
asosiasi bunyi, flight of ideas, dan retardasi. Hilangnya kemampuan untuk
mengerti pikiran abstrak mungkin tanda awal dementia. Isi pikiran harus
diperiksa adanya obsesi, preokupasi somatic, komplusi atau waham. Gagasan
tentang bunuh diri dan pembunuhan harus dicari.
Sensorium dan kognisi, Sensorium mempermasalahkan fungsi
dari indra tertentu, sedangkan kognisi memperasalahkan informasi dan
intelektual.
Kesadaran,
Indikator
yang peka terhadap disfungsi otak adalah adanya perubahan kesadaran, adanya
fluktuasi tingkat kesadaran atau tampak letargik. Pada keadaan yang berat
penderita dalam keadaan somnolen atau strupor.
Orientasi,
Gangguan
orientasi terhadap waktu, tempat dan orang berhubungan dengan gangguan
kognisi.gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan
kecemasan, gangguan konversi, dan gangguan kepribadian terutama selama episode
fisik atau lingkungan yang tidak mendukung. Pemeriksa harus menguji orientasi
tempat dengan meminta penderita menggambarkan lokasi saat ini. Orientasi
terhadap orang diniai dengan dua cara : apakah penderita mengenal namanya
sendiri serta dokter dan perawat. Orientasi waktu diuji dengan menanyakan
tanggal, hari, bulan dan tahun.
Daya ingat, Dinilai dalam hal daya ingat jangka
panjang, pendek dan segera. Tes diberikan dengan memberikan angka enam digit
dan penderita diminta untuk mengulangi maju dan mundur. Penderita yang tak
terganggu daya ingatnya dapat mengingat enam angka maju dan lima angka mundur.
Daya ingat jangka panjang diuji dengan menanyakan tempat tanggal lahir, nama
dan hari ulang tahun anak penderita. Daya ingat jangka pendek diperiksa dengan
menyebut tiga benda pada awal wawancara dan meminta penderita mengingat kembali
benda tersebut diakhir wawancara. Atau dengan memberikan cerita singkat pada
penderita dan penderita diminta untuk mengulangi cerita tadi secara
tepat/persis.
Fungsi intelektual, konsentrasi, informasi dan
kecerdasan. Menghitung dapat diujikan dengan meminta penderita untuk mengurangi
7 dari angka 100 dan mengurangi 7 lagi dari hasil akhir dan seterusnya sampai
dicapai angka 2. Pemeriksa mencatat respon sebagai dasar untuk pengujian
selanjutnya. Pengetahuan umum adalah yang berhubungan dengan kecerdasan.
Penderita ditanya nama presiden Indonesia, nama kota besar di Indonesia.
Pemeriksa harus memperhitungkan tingkat pendidikan penderita dalam menilai
hasil dari beberapa pengujian tersebut.
Membaca dan menulis, Penting bagi klinisi untuk memeriksa kemampuan membaca dan
menulis dan menentukan apakah penderita mempunyai deficit bicara khusus.
Pemeriksa dapat meminta penderita membaca kisah singkat dengan suara keras atau
menulis kalimat sederhana untuk menguji gangguan membaca atau menulis pada
penderita. Apakah menulis dengan tangan kiri atau kanan juga perlu dicatat.
Pertimbangan, Pertimbangan
(judgement) adalah kapasitas untuk bertindak
sesuai dengan berbagai situasi. Apakah penderita menunjukkan gangguan
pertimbangan, apa yang akan dilakukan oleh penderita, misal apakah penderita
mampu membedakan antara orang kerdil dengan seorang anak?.
E.
Beberapa Masalah di bidang Psikogeriatri
1. Kesepian (loneliness)
Biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran. Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran sosial penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila menang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
Biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran. Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran sosial penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila menang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
2. Duka cita (bereavement)
Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seseorang penderita lanjut usia.
Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat bisa mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang akan memicu gangguan fisik dan kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup merupakan periode yang rawan. Periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan duka citanya tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti dengan ingin menangis dan kemudian suatu episode depresi. Depresi akibat duka cita pada lansia biasanya tidak bersifat self limiting.
Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seseorang penderita lanjut usia.
Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat bisa mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang akan memicu gangguan fisik dan kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup merupakan periode yang rawan. Periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan duka citanya tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti dengan ingin menangis dan kemudian suatu episode depresi. Depresi akibat duka cita pada lansia biasanya tidak bersifat self limiting.
Petugas kesehatan harus member kesempatan pada episode tersebut berlalu
Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan,memberikan
hiburan dimana perlu atau tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan dan berjalan terlalu berat.
Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi
berat, konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan
kemungkinan diberikan obat anti depresan.
3. Depresi
Secara epidemologik, di negara barat depresi dikatakan terdapat 15-20% populasi usia lanjut di masyarakat. Insidensi bahkan lebih tinggi pada lansia yang ada di institusi. Di Asia angkanya jauh lebih rendah. Keadaan ini diduga karena terdapat faktor sosio-kultural-religi yang berpengaruh positif. Hadi martoyo hanya mendapatkan angka 2,3% dari penderita lansia yang dirawat di bangsal geriatric akut yang menderita depresi. Depresi bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh patologi tunggal, tetapi biasanya bersifat multifaktorial. Pada usia lanjut, dimana stres lingkungan sering menyebabkan depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun, akibat depresi pada usia lanjut seringkali tidak sebaik pada usia muda.
Secara epidemologik, di negara barat depresi dikatakan terdapat 15-20% populasi usia lanjut di masyarakat. Insidensi bahkan lebih tinggi pada lansia yang ada di institusi. Di Asia angkanya jauh lebih rendah. Keadaan ini diduga karena terdapat faktor sosio-kultural-religi yang berpengaruh positif. Hadi martoyo hanya mendapatkan angka 2,3% dari penderita lansia yang dirawat di bangsal geriatric akut yang menderita depresi. Depresi bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh patologi tunggal, tetapi biasanya bersifat multifaktorial. Pada usia lanjut, dimana stres lingkungan sering menyebabkan depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun, akibat depresi pada usia lanjut seringkali tidak sebaik pada usia muda.
Diagnosis:
Anamnesis merupakan hal yang sangat
penting dalam diagnosis depresi dan harus diarahkan pada pencarian terjadinya
berbagai perubahan dari fungsi terdahulu, dan terdapatnya 5 atau lebih gejala
depresi mayor seperti disebutkan pada definisi depresi diatas.
Aloanamnesis dengan keluarga atau informan lain bisa sangat membantu.
Gejala depresi pada usia lanjut seiring hanya berupa apatis dan penarikan diri
dari aktivitas sosial, gangguan memori, perhatikan serta memburuknya
kognitif secara nyata. Tanda disfori atau sedih yang jelas seringkali
tidak terdapat. Seringkali sukar untuk mengorek adanya penurunan perhatian
dari hal-hal yang sebelumnya disukai, penurunan nafsu makan, aktivitas
atau sukar tidur.
F.
Depresi pada usia lanjut seringkali
kurang atau tidak terdiagnosis karena hal-hal :
a) Penyakit fisik yang diderita
seringkali mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah lelah
dan penurunan berat badan.
b) Golongan lanjut usia seringkali
menutupi rasa sedihnya dengan justru
menunjukkan bahwa dia lebih aktif.
c) Kecemasan, obsesionalitas, hysteria
dan hipokondria yang sering merupakan gejala depresi justru sering menutupi
depresinya. Penderita dengan hipokondria, misalnya justru sering dimasukkan ke
bangsal penyakit dalam atau bedah (misalnya karena diperlukan penelitian
untuk konstipasi dan lain sebagainya).
d) Masalah sosial yang juga diderita
seringkali membuat gambaran depresi menjadi lebih rumit.
G.
Penatalaksanaan :
Penatalaksanaan
terdiri atas penatalaksanaan psikologik,pencegahan dan farmakologik.
Rujukan ke psikiater dianjurkan apabila
penderita menunjukkan gejala:
o Masalah diagnostic yang serius
o Risiko bunuh diri tinggi
o Pengabaian diri (self neglect) yang
serius
o Agitasi, delusi atau halusinasi
berat
o Tidak memberikan tanggapan atau tak
patuh terhadap pengobatan yang diberikan
o Memerlukan tindakan/rawat inap di
institusi atau pelayanan psikiatrik lain
Di antara obat-obatan depresi harus dipilih dan disesuaikan dengan keadaan dan gejala yang diderita.
Di antara obat-obatan depresi harus dipilih dan disesuaikan dengan keadaan dan gejala yang diderita.
Untuk penderita yang secara
fisik aktif, sebaiknya tidak diberikan obat yang memberikan efek sedative,
sebaliknya penderita yang agiatif golongan obat tersebut mungkin
diperlukan. Walaupun obat golongan litium mungkin
bisa memberikan efek, terutama penderita dengan depresan manik, obat ini sebaiknya hanya diberikan setelah berkonsultasi pada psikiater. Obat harus di berikan dengan dosis awal rendah dan berhati-hati bila terdapat penurunan fungsi ginjal.
bisa memberikan efek, terutama penderita dengan depresan manik, obat ini sebaiknya hanya diberikan setelah berkonsultasi pada psikiater. Obat harus di berikan dengan dosis awal rendah dan berhati-hati bila terdapat penurunan fungsi ginjal.
Gangguan cemas
Gangguan cemas dibagi dalam beberapa
golongan, yaitu fobia, gangguan panic, gangguan cemas umum,gangguan
stress pasca trauma dan gangguan obsesif-kompulsif. Puncak insidensi antara
usia 20-40 tahun,dan prevelansi pada lansia lebih kecil dibandingan pada dewasa
muda. Pada usia lanjut seringkali gangguan cemas ini merupakan kelanjutan
dari dewasa muda. Awitan yang terjadi pada usia lanjut
biasanya berhubungan /sekunder akibat depresi, penyakit medis, efek
samping obat atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
H.
Psikosis pada usia lanjut
Berebagai bentuk psikosis bisa terdapat pada usia lanjut, baik sebagai kelanjutan keadaan dewasa muda atau yang timbul pada usia lanjut pada dasarnya jenis dan penatalaksanaannya hamper tidak berbeda dengan yang terdapat pada populasi dewasa muda. Walaupun beberapa jenis khusus akan disinggung sedikit berikut.
Berebagai bentuk psikosis bisa terdapat pada usia lanjut, baik sebagai kelanjutan keadaan dewasa muda atau yang timbul pada usia lanjut pada dasarnya jenis dan penatalaksanaannya hamper tidak berbeda dengan yang terdapat pada populasi dewasa muda. Walaupun beberapa jenis khusus akan disinggung sedikit berikut.
§ Parafrenia, adalah suatu bentuk skizofrenia
lanjut yang sering terdapat pada usia lanjut yang ditandai dengan waham
(biasanya waham curiga dan menuduh), sering penderita merasa tetangganya
mencuri barang-barangnya atau tetangga berniat membunuhnya. Biasanya
terjadi pada individu yang terisolasi atau menarik diri dari kegiatan
sosial. Apabila waham tersebut menimbulkan keributan antar tetangga
atau bahkan skandal, pemberian terapi dengan derivate fenotiasin sering
bisa menenangkan.
§ Sindroma Diogenes, adalah suatu keadaan dimana seorang
lanjut usia menunjukkan penampakan perilaku yang sangat terganggu. Rumah atau
kamar yang sangat kotor, bercak dan bau urin dan feses dimana-mana. Tikus Tikus
berkeliaran, penderita menumpuknya barang-barangdengan tidak teratur. Individu
lanjut usia yang menderita keadaan ini biasanyamempunyai IQ yang tinggi,
50% kasus intelektualnya normal. Mereka biasanya menolak untuk dimasukkan
ke institusi. Upaya untuk mengadakan pengaturan/pembersihan rumah /kamar,
biasanya akan gagal karena setelah beberapa waktu hal tersebut akan terulang
kembali.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
pelayanan geriatri di Indonesia
sudah saatnya diupayakan di seluruh jenjang pelayanan kesehatan di Indonesia.
Untuk itu pengetahuan mengenai geriatrik harus sudah merupakan pengetahuan yang
diajarkan pada semua tenaga kesehatan, dalam hal ini pengetahuan mengenai
psikogeriatri atau kesehatan jiwa pada usia lanjut merupakan salah satu di
antara berbagai pengetahuan yang perlu diketahui. Tatacara pemeriksaan dasar
psikogeriatri oleh karena itu sering disertakan dalam pemeriksaan/assessment
geriatri, antara lain mengenai pemeriksaan gangguan mental. Kognitif, depresi
dan beberapa pemeriksaan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan &
sadock’s Pocket Handbook of clinical psychiatry. Edisi ke-4. Lippincott
Williams & wilkins, Philadelphia,359-369,1998.
2. Alwahdy R. Psikologi pada lansia.
2010. [cited 2010 Mar 13]: Available from: URL: http://www.health
clinic.com.html
3. Kaplan HI,Sadock BJ and
Greb.Sinopsis Psikiatri vol 1/7.Bina Rupa Aksara,Jakarta,867-881,1997.
4. Kaplan HI,Sadock BJ and
Greb.Sinopsis Psikiatri vol 1/7.Bina Rupa Aksara,Jakarta,99-121,1997
5. Anonim. Psikogeriatri. 2009. [cited
2010 mar 13]: [1-2]. Available from: URL: http://www.medicastore.com.html
6. Direktorat kesehatan jiwa.1982.
Pedoman Pengelolaan Jiwa dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Jakarta:Dep
Kes RI.
7. Gunadi H.1984.Problematik Usia
Lanjut Ditinjau Dari Sudut Kesehatan Jiwa.Jakarta: Jiwa XVII(4):89-97.
8. Pranaka.2010.Buku Ajar Boedhi
Darmojo Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi ke 4.Jakarta:Balai Penerbit
Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia
9. Roger Watson.2003.Perawatan pada
Lansia.Jakarta:EGC.
10. Wahit Iqbal Mubarak,dkk.2006.Buku
Ajar Ilmu Keperawatan Komunitas 2 Teori dan Aplikasi dalamPraktek dengan Pendekatan
Askep Komunitas, Gerontik dan Keluarga.Jakarta:Sagung Seto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar