Senin, 03 Februari 2014

PENYAKIT KEKURANGAN HORMON PADA LANSIA DAN HIPERPLASIA PROSTAT

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Hormon adalah zat kimia dalam bentuk senyawa organik yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin. Hormon mengatur aktivitas seperti metabolisme, reproduksi, pertumbuhan, dan perkembangan.
Kelenjar endokrin disebut juga kelenjar buntu karena hormon yang dihasilkan tidak dialirkankan melalui suatu saluran tetapi langsung masuk kedalam pembuluh darah.
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi  berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994).
Hyperplasia prostat adalah Pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (sumber:Rencana asuhan keperawatan marilynn deonges).

B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui berbagai macam kekurangan hormone
2.      Untuk menambah wawasan tentang kekurangan hormone
3.      Untuk mengetahui pengertian dari hyperplasia prostat
4.      Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit kekurangan hormone dan hyperplasia prostat yang ternyata banyak diderita para lansia.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penyakit Kekurangan Hormon
Hormon adalah zat kimia dalam bentuk senyawa organik yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin. Hormon mengatur aktivitas seperti metabolisme, reproduksi, pertumbuhan, dan perkembangan.
Kelenjar endokrin disebut juga kelenjar buntu karena hormon yang dihasilkan tidak dialirkankan melalui suatu saluran tetapi langsung masuk kedalam pembuluh darah. Hormon dari kelenjar endokrin mengikuti peredaran darah ke seluruh tubuh hingga mencapai organ – organ tertentu. Meskipun semua hormone mengadakan kontak dengan semua jaringan dalam tubuh, namun hanya sel / jaringan yang mengandung reseptor yang spesifik terhadap hormon tertentu yang terpengaruh hormon tersebut.
Kemampuan sistem endokrin dalam menghasilkan hormone akan mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya usia. Proses menua yang terjadi pada seseorang merupakan suatu proses alami secara fisiologik dan biologik yang sangat wajar terdapat pada seluruh organ dan sel dalam tubuh.
Beberapa gangguan penyakit akibat kekurangan hormon pada lansia antara lain :
1.      Osteoporosis
a.      Pengertian
Osteoporosis berasal dari  kata osteo dan porous, asteo artinya tulang dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunanan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan  kerapuhan tualng. Dua sel yang sangat penting  dalam proses ini adalah osteoblast yang berfungsi dalam pembentukan tulang dan osteoklast yang berfungsi dalam proses resorpsi tulang.
Proses pembentukan dan resorpsi ini terjadi seumur hidup. Pada usia mulai 40 tahun massa tulang akan mulai berkurang sebagai akibat dari mulai berkurangnya fungsi osteoblast. Penurunan massa tulang inilah yang menyebabkan osteoporosis pada lansia. Massa tulang sangat dipengaruhi oleh kalsium karena 98% dari kalsium yang tersimpan dalam tulang. Kalsium yang berperan disini adalah kalsium ion yang dipengaruhi oleh 3 hormon, yaitu : hormon paratiroid, 1,25 dihidroksi vitamin D, dan kalsitonin. Hormon paratiroid berperan dalam proses resorpsi tulang dengan mengaktifkan osteoklast dan akan mengakibatkan meningkatnya kadar kalsium dalam darah. 1,25 dihidroksi vitamin D akan merangsang osteoblast baru kemudian merangsang osteoklast. Sedangkan kalsitonin berperan sebagai pencegah osteoklast. Dari penelitian juga diketahui bahwa hormon estrogen berperan dalam penekanan proses resorpsi tulang.

b.      Faktor Predisposisi
1)      Merokok dan minuman beralkohol
2)      Faktor genetis, bila dalam satu keluarga terdapat riwayat osteoporosis, kemungkinan anggota keluarga yang lain menderita osteoprosis sekitar 60-80%
3)      Jenis kelamin, sekitar 80% penderita osteoporosis adalah perempuan
4)      Masalah kesehatan kronis, penderita asma yang menggunakan obat-obatan jenis kortikosteroid beresiko mengalami osteoporosis. Resiko terkena osteoporosis juga meningkat pada penderita diabetes, hipertiroidisme, dan penyakit
5)      Kekurangan hormone, pada perempuan, kejadian menopause yang menyebabkan berkurangnya hormon estrogen yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.
6)      Kurang olah raga
7)      Kurang kalsium
8)      Indeks massa tulang yang rendah
9)      Berat badan kurang
10)  Lanjut usia
11)  Periode menstruasi yang abnormal
12)  Anorexia Nervosa (gangguan makan)

c.       Gejala
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (Punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit.
Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlahan.

d.      Patogenesis
Mekanisme yang mendasari dalam semua kasus osteoporosis adalah ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Dalam tulang normal, terdapat matrik konstan remodeling tulang; hingga 10% dari seluruh massa tulang mungkin mengalami remodeling pada saat titik waktu tertentu. Proses pengambilan tempat dalam satuan-satuan multiseluler tulang (bone multicellular units (BMUs) pertama kali dijelaskan oleh Frost tahun 1963. Tulang diresorpsi oleh sel osteoklas (yang diturunkan dari sumsum tulang), setelah tulang baru disetorkan oleh sel osteoblas.

e.       Pemeriksaan Kondisi Tulang
Untuk mengetahui kondisi tulang, dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni mengukur bone mineral density dan penanda biokimiawi tulang. Kedua pemeriksaan ini berbeda, namun dapat saling melengkapi hingga didapatkan infromasi yang lebih lengkap tentang status tulang. Adapun jenis pemeriksaan yang dilakukan adalah :
1)      Bone Mineral Density (BMD)
Suatu pemeriksaan yang mengukur densitas/ kepadatan mineral dalam tulang dengan sinar X khusus, CT scan atau ultrasonografi, informasi ini menunjukkan kepadatan tulang saat pemeriksaan dilakukan. BMD tidak dapat memprediksi densitas tulang pada masa yang akan datang.
2)      Pemeriksaan Laboratorium
Penanda biokimia tulang pemeriksaan ini menggunakan sampel darah, mewakili proses reformasi tulang, sehingga memberikan informasi mengenai ketidakseimbangan potensial antara pembentukan dan resorpsi tulang. Resiko tulang patah/ retak berhubungan dengan penurunan nilan BMD, sehingga dibutuhkan kombinasi dengan pemeriksaan penanda tulang yang lebih baik.

f.       Pemeriksaan Pada Penderita Osteroporosis
1)      N-MID Osteocalcin
Untuk menilai pembentukan tulang N-MID Osteocalcin adalah salah satu bagian osteocalcin yakni protein yang di produksi oleh osteoblas. Osteoblas merupakan sel yang berperan dalam pembentukan tulang, karena itu kadar osteocalcin menunjukkan juga aktivitas osteoblas yakni pembentukan tulang.
2)      CTx (C-Telopeptide)
Untuk menilai resorpsi/ pembongkaran tulang juga untuk menilai respon terhadap obat antiresorpsi. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan :
a)      Jika beresiko tinggi terkena osteoporosis, yaitu untuk deteksi dini
b)      Pengukuran keseimbangan pembongkaran tulang pada pria dan wanita usia diatas 40 tahun, karena kehilangan tulang dimulai pada usia sekitar 40 tahun.
c)      Pengukuran sebelum dilakukannya terapi antiresopsi oral
Pengukuran pada 3 bulan setelah terapi dan untuk melihat apakah terapi antiresorpsi oral. Untuk mengetahui efikasi terapi dan untuk melihat apakah terapi yang diberikan sudah tepat atau belum.
Jika hasil laboratorium menunjukkan resiko osteoporosis yang harus dilakukan adalah konsultasikan dengan dokter keluarga anda. Bila perlu dokter akan meminta anda melakukan pemeriksaan lanjutan, misalnya dengan pemeriksaan bone mineral density untuk menentukan tingkat kepadatan dan kondisi tulang serta memastikan ada tidaknya osteoporosis.

g.      Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah meningkatkan kepadatan tulang. Semua wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus mengonsumsi kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi. Wanita paska menopause yang menderita osteoporosis juga bisa mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan progesteron) atau alendronat, yang bisa memperlambat atau menghentikan penyakitnya. Bifosfonat juga digunakan untuk mengobati osteoporosis. Pada pria yang menderita osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan tambahan vitamin D, terutama jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap kalsium dalam jumlah yang mencukupi. Jika kadar testosteronnya rendah, bisa diberikan testosteron.

 

2.      Diabetes Mellitus
Usia lanjut merupakan masa di mana terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran fungsional pada tubuh. Salah satunya adalah terjadinya penurunan produksi dan pengeluaran hormon yang diatur oleh enzim-enzim yang juga mengalami penurunan pada usia lanjut. Salah satu hormon yang menurun sekresinya pada usia lanjut adalah insulin. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya diabetes mellitus pada usia lanjut.
Diabetes melitus yang terdapat pada usia lanjut mempunyai gambaran klinis yang bervariasi luas, dari tanpa gejala sampai dengan komplikasi nyata dan kadang-kadang menyerupai penyakit atau perubahan yang biasa ditemui pada usia lanjut. Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia dan polifagia, pada DM usia lanjut tidak ada. Umumnya pasien datang dengan keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada usia lanjut, respon tubuh terhadap berbagai perubahan/gejala penyakit mengalami penurunan. Biasanya yang menyebabkan pasien usia lanjut datang berobat adalah karena gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan biasa.
Komplikasi - komplikasi yang dialami oleh pasien usia lanjut yang menderita diabetes melitus hingga mengakibatkan terjatuh diantaranya yaitu  komplikasi yang bersifat akut dan ada pula yang kronik. Komplikasi DM akut antara lain ketoasidosis, koma diabetikum, dan sebagainya. Sedangkan komplikasi DM kronik antara lain makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati. Komplikasi akibat makroangiopati terutama akan meningkatkan mortalitas, sedangkan komplikasi mikroangiopati akan meningkatkan morbiditas. Komplikasi mikroangiopati antara lain retinopati diabetik dan nefropati diabetik; komplikasi makroangiopati antara lain terjadinya atherosklerosis yang menimbulkan komplikasi lebih lanjut pada serebrovaskular; sedangkan komplikasi berupa neuropati, disebut juga neuropati diabetik, yang tersering adalah neuropati perifer. Berbagai komplikasi yang disebutkan di atas dapat menyebabkan jatuh pada usia lanjut. Selain itu, kesalahan dalam mengkonsumsi obat antidiabetik oral oleh karena  kelebihan/kekurangan dosis dan ketidakseimbangan antara asupan makanan dan obat antidiabetik oral dengan aktivitas sehari-hari yang menyebabkan hipoglikemi/hiperglikemi juga dapat membuat jatuh pada usia lanjut.


Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar pasien mengalami jatuh disebabkan oleh gangguan penglihatan yang dialami sebagai komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang dialami oleh pasien.

3.      Penyakit Gondok Tyroid
Penyakit gondok tyroid adalah penyakit yang terjadi karena gangguan pada kelenjar tiroid atau gondok manusia yang bentuknya seperti kupu-kupu. Ia terletak di daerah leher sebelah depan pada ruas ke 2 dan 3 dari tenggorokan.
Bila dilihat dari gangguan fungsi, tiroid dibagi menjadi dua. yaitu hipertiroid dan hipotiroid :
a.      Hipertiroid
1)      Definisi
Hipertiroid yaitu suatu kondisi dimana suatu kelenjar tiroid yang terlalu aktif dalam menghasilkan  jumlah hormon tiroid yang beredar dalam darah.

2)      Etiologi
a.       Penyakit Graves
Penyakit Graves atau Graves’ disease disebabkan oleh kelenjar tiroid yang overaktif, dan merupakan penyebab hipertiroid yang paling sering dijumpai.
Kelenjar tiroid membesar merata atau menyeluruh, tidak bisa memberi respons terhadap kontrol dari TSH.
Penyakit ini biasanya turunan, wanita 5 kali lebih sering daripada pria. Diduga penyebabnya adalah penyakit autoimun, dimana ada antibodi yang ditemukan dalam peredaran darah, yaitu thyroid stimulating immunogliobulin (TSI antibodies), thyroid peroksidase antibodies (TPO), dan TSH receptor antibodies (TRAb). Pencetus kelainan ini adalah stres, merokok, radiasi leher, obat-obatan, dan infeksi virus.
b.      Toxic Nodular Goiter
Benjolan leher akibat pembesaran tiroid yang berbentuk biji padat, bisa satu (single nodule) atau banyak (multinodular). Kata toxic artinya hipertiroid, sedangkan nodule atau biji itu tidak terkontrol oleh TSH sehingga memproduksi hormon tiroid yang berlebihan.
c.       Minum obat hormon tiroid berlebihan
Keadaan demikian tidak jarang terjadi, karena periksa laboratorium dan kontrol ke dokter yang tidak teratur, sehingga pasien terus minum obat tiroid; ada pula orang yang minum hormon tiroid dengan tujuan menurunkan berat badan hingga timbul efek samping.
d.      Produksi TSH yang abnormal
Tumor pada kelenjar hipofisis dapat memproduksi TSH berlebihan, sehingga merangsang tiroid untuk mengeluarkan T3 dan T4 yang banyak. Keadaan ini jarang didapatkan, dan biasanya disertai dengan gangguan hormon lain yang juga diproduksi oleh hipofisis.
e.       Tiroiditis (radang kelenjar tiroid)
Radang tiroid umumnya disebut Tiroiditis Subakut yang disebabkan oleh infeksi virus, ditandai dengan demam, nyeri menelan, kelenjar tiroid membesar dan sakit bila tersentuh; dapat diikuti dengan peningkatan hormon tiroid. Tiroiditis juga sering terjadi pada ibu setelah melahirkan, disebut Tiroiditis Pasca Persalinan, dimana pada fase awal timbul keluhan hipertiroid, 2-3 bulan kemudian keluar gejala hipotiroid, yang selanjutnya berangsur menjadi normal.

f.       Konsumsi yodium berlebihan.
Kelenjar tiroid memakai yodium untuk membuat hormon tiroid, bila konsumsi yodium berlebihan bisa menimbulkan hipertiroid. Kelainan ini biasanya timbul apabila sebelumnya si pasien memang sudah ada kelainan kelenjar tiroid.

3)      Gejala
      Hipertiroid biasanya disertai dengan berbagai keluhan dan gejala. Pada stadium yang ringan sering tanpa keluhan. Demikian pula pada orang usia lanjut, lebih dari 70 tahun, gejala yang khas juga sering tidak tampak.
Tergantung pada beratnya hipertiroid, maka keluhan bisa ringan sampai berat. Keluhan yang sering timbul antara lain adalah :
a.       Banyak keringat
b.      Tak tahan panas
c.       Sering buang air besar, kadang diare
d.      Jari tangan gemetar (tremor)
e.       Nervus, tegang, gelisah, cemas, mudah tersinggung
f.       Jantung berdebar cepat
g.      Denyut nadi cepat, seringkali sampai lebih dari 100 kali per menit
h.      Berat badan turun, meskipun makan banyak
i.        Rasa capai
j.        Otot lemas, terutama lengan atas dan paha
k.      Rambut rontok
l.        Kulit halus dan tipis
m.    Pikiran sukar berkonsentrasi
n.      Haid menjadi tidak teratur
o.      Kehamilan sering berakhir dengan keguguran
p.      Bola mata menonjol, dapat disertai dengan penglihatan ganda (double vision)
q.      Denyut nadi tidak teratur (atrial fibrillation), terutama pada usia di atas 60 tahun

4)      Pengobatan
Pengobatan hipertiroid meliputi :
a.       Mengobati gejala hipertiroid
Biasanya diberi obat untuk menghilangkan gejala jantung yang berdetak sangat cepat, misalnya Propanolol atau Atenolol. Kadang diperlukan obat penenang dan tambahan vitamin.
b.      Pemberian obat anti tiroid
Obat yang dipakai untuk menurunkan T3 atau T4 adalah Propylthiouracil (PTU), Carbimazole (Neo-Mercazole), Thiamazole (Thyrozol), dan Methimazole.
Obat ini bekerja menghambat perubahan T4 menjadi T3 yang aktif. Pemakaian obat jangka panjang perlu diperiksa jumlah lekosit darah karena efek obat pada sumsum tulang.
Pengobatan sering perlu sampai lama, apabila sudah tercapai eutiroid atau normotiroid (kadar hormon sudah normal), pasien masih dianjurkan memeriksakan hormonnya secara berkala, karena sebagian bisa kambuh terutama pada penyakit Graves.
c.       Yodium Radioaktif
Pengobatan radiasi ini memakai yodium 131 yang diminumkan dalam bentuk tablet atau cairan, bahan yodium ini diserap hanya oleh sel tiroid, bahan radioaktifnya merusak sel itu, sehingga produksi hormon yang berlebihan bisa dihentikan. Pengobatan ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau menyusui. Orang yang dengan sakit jantung berat, atau tidak tahan dengan obat anti tiroid, dianjurkan menjalani pengobatan ini. Pasca pengobatan perlu penyesuaian selama beberapa minggu, sebagian orang mengalami hipotiroid yang permanen sehingga perlu minum obat hormon tiroid terus. Pengaruh radiasi jangka panjang juga perlu dipikirkan.
d.      Tindakan bedah.
Pembedahan biasanya mengambil sebagian kelenjar tiroid, tujuannya agar produksi hormon menjadi normal dan tidak lagi berlebihan. Akan tetapi bila pengambilan terlalu banyak, juga dapat timbul hipotiroid.
Komplikasi pembedahan adalah kerusakan jaringan sekitarnya, misalnya saraf untuk pita suara, kelenjar paratiroid yang mengatur kalsium darah. Bila terambil sebagian paratiroid menyebabkan kalsium darah terlalu turun sehingga perlu minum pil kalsium.
Dengan adanya obat anti tiroid, tindakan bedah sudah tidak terlalu sering lagi. Pembedahan dilakukan terhadap orang yang tidak berhasil dengan obat oral, atau kelenjar yang sangat besar sehingga menekan jalan nafas dan mengganggu proses menelan.

b.      Hipotiroid
1)      Definisi
Hipotiroid yaitu suatu keadaan dimana kelenjar tiroid kurang aktif dalam memproduksi hormone tiroid sehingga tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

2)      Etiologi
Penyebab hipotiroidisme yang paling sering adalah tiroiditis hashimoto, yaitu gangguan kelenjar tiroid yang disebabkan oleh kelainan system imunitas tubuh yang menyerang kelenjar tiroid pada tiroiditis hashimoto, kelenjar tiroid seringkali membesar dan hipotiroidisme terjadi beberapa bulan kemudian akibat rusaknya kelenjar tiroid
Penyebab hipotiroidisme tersering kedua adalah akibat efek pengobatan hipertiroidisme, baik dengan iodium radioaktif, pasca operasi pengangkata kelenjar tiroid, atau pasca radiasi kelenjar tiroid.
Pada kasus yang lebih jarang, penurunan kadar hormone tiroid juga dapat disebabkan oleh kegagalan kelenjar pituitary dalam menghasilkan hormone yang menstimulasi kelenjar tiroid. Sebab hipotiroidisme lainnya antara lain adanya kelainan bawaan atau adanya peradangan pada kelenjar tiroid
Kekurangan iodium jangka panjang dalam makanan, menyhebabkan trjadinya pembesaran kelenjar tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme goitrosa). Kekurangan asupan iodium jangka panjang merupakan penyebab tersering dari hipotiroidisme di Negara berkembang

3)      Faktor Resiko
a.       Wanita
b.      Usia lebih dari 50 tahun
c.       Menderita obesitas
d.      Pasca operasi pengangkatan kelenjar tiroid
e.       Riwayat paparan sinar x pada leher atau pasca terapi radiasi

4)      Gejala
Hipotiroidisme dapat menyebabkan berbagai gejala yang dapat mengenai seluruh fungsi tubuh seperti :
a.       Melambatnya fungsi tubuh
b.      Ekspresi wajah menjadi tumpul
c.       Suara menjadi serakberbicara menjadi lambaat
d.      Kelopak mata menutup
e.       Mata serta wajah menjadi bengkak
f.       Rambut menjadi tipis kasar dan kering
g.      Kulit menjadi kering, kasar dan menebal
h.      Denyut nadi bisa melambat
i.        Telapak tangan dan telapak kaki tampak agak oranye dan alis mata bagian samping mulai rontok
j.        Pada usila menjadi bingung, pelupa dan pikun.

5)      Pengobatan
Tujuan pengobatan hipotiroidisme adalah dengan mengganti kekurangan hormone tiroid. Pengobatan diberikan dalam jangka panjang, biasanya obat akan terus diminum sepanjang hidup penderita. Pengobatan harus tetap dilanjutkan walau gejala sudah mereda. Yang banyak dipakai adalah hormone tiroid T4 buatan. Bentuk yang lain adalah hormone tiroid yang dikeringkan (diperoleh dari kelenjar tiroid hewan). Pengobatan pada penderita usia lanjut dimulai dengan hormone tiroid dosis rendah, karena dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan efek samping yang serius. Kemudian dosis obat akan diturunkan secara bertahap sampai kadar TSH kembali normal.
Pengukuran hoemon tiroid harus dilakukan secara teratur setiap tahun setelah diperoleh dosis obat yang tetap.selain itu, setelah terapi hormone pengganti dimulai, perlu diperhatikan apakah terjadi tanda-tanda hipertiroidisme seperti penurunan berat badan yang cepat, banyak berkeringat dan gelisah.



B.     Hiperplasia prostat
1.      Definisi
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi  berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994). Hyperplasia prostat adalah Pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (sumber:Rencana asuhan keperawatan marilynn deonges).

2.      Etiologi hyperplasia prostat
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen karena produksi testosterone menurun dan terjadi konfersi testosterone menjadi esterogen pada jaringan adipose diperifer. Berdasarkan angka autopsy perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Pada lelaki usia 50 tahun, angka kejadianya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinis.
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
a.   Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
b.   Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor, transforming growth factor b1, transforming growth factor b2, dan epidermal growth factor.
c.    Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
d.   Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
e.    Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.(Sumber:Mcconnell Roehrborn 2007).

3.      Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Pada hiperplasia terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.(Sumber:Doenges 2000).



4.      Tanda dan Gejala
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.Gejalanya ialah:
a.    Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
b.   Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
c.    Miksi terputus (Intermittency)
d.   Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
e.    Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)

5.      Manifestasi klinis
Manifestasi klinik berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu :
a.       Volume kelenjar periuretral
b.      Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c.       Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.(Sumber Reksoprodjo S.1995 Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah)

6.    Komplikasi
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis.
Perdarahan, Inkontinesia, Batu VU, Retensi urine, Impotensi,  Epididimis, Hemoroid, hernia, prolaps rektum akibat mengedan, Infeksi saluran kemih disebabkan kateterisasi, Hidronefrosis. (sumber: Sjamsuhidajat, 2005 ).

7.    Pencegahan
Beberapa upaya yang bisa ditempuh diantaranya mengkonsumsi makanan rendah lemak. Selain itu ada beberapa jenis makanan yang perlu ditingkatkan untuk mencegah datangnya penyakit prostate khususnya kanker yaitu Soy Iso Flavones, lycopene, selenium, vitamin E, teh hijau, anti androgen dan vitamin

8.    Prosedur Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan hyperplasia adalah :
a.       Laboratorium
1)      Sedimen Urin: Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2)      Kultur Urin : Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.



b.      Pencitraan
1)      Foto polos abdomen : Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2)      IVP (Intra Vena Pielografi) : Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
3)      Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal) : Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4)      Systocopy: Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum. (Sumber:Deonges 1999).

9.        Terapi dan penatalaksanaaan
 Menurut R. Sjamsuhidayat (h.785) derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis sebagai berikut:

Derajat
Colok Dubur
Sisa Volume Urine
I
Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba
< 50 ml
II
Penonjolonan prostat jelas, batas atas dapat dicapai
50-100 ml
III
Batas atas prostat tidak dapat diraba
>100 ml
IV

Retensi urine total

Dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a.       Stadium I : Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b.      Stadium II : Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c.       Stadium III : Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d.      Stadium IV : Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. (Sumber : Sjamsuhidjat 2005)


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari hasil uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit kekurangan hormone dapat berdampak serius apabila tidak ditangani dengan segera dan serius, seperti halnya osteophorosis, apabila terlambat penanganan maka akan terjadi pengeroposan bahkan kelumpuhan. Pada lansia lelaki banyak terjadi hyperplasia prostat yaitu pembesaran prostat yang jinak bervariasi  berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994). Yang dalam jangka panjang dapat menyebaban gagal ginjal apabila tidak ditangani dengan segera.

B.     Saran
Mengingat betapa pentingnya kesehatan bagi lansia, maka disaranankan bagi para lansia untuk memeriksakan kesehatannya secara teratur, menjaga kesehatannya dengan cara olah raga dan makanan sehat.

 DAFTAR PUSTAKA


R., Syamsuhidayat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Notoatmodjo, Soekijo. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta: Jakarta
Cahya Ary. 2009. The Natural Women`s Guide to Hormone Replacement Therapy. Jogjakarta
Tandra Hans. 2009. OSTEOPOROSIS. Gramedia Pustaka Umum.: Jakarta








Tidak ada komentar:

Posting Komentar